UBIJALAR SEBAGAI BAHAN DIVERSIFIKASI
PANGAN LOKAL
Erliana Ginting, Rahmi Yulifianti dan M.
Jusuf
Balai
Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
PO Box 66 Malang 65101; Telp. 61-034180148; Fax
61-0431801496;
e-mail: erlianaginting@yahoo.com
ABSTRAK
Ubijalar
potensial sebagai bahan diversifikasi pangan karena kaya akan karbohidrat,
vitamin dan mineral serta telah lama dikenal dan dibudidayakan petani.
Keberadaan pigmen orange sebagai provitamin A, pigmen ungu antosianin sebagai
antioksidan, serat pangan, dan indeks glikemiknya yang berkisar antara rendah
sampai medium, merupakan nilai tambah ubijalar sebagai pangan fungsional. Namun sejauh ini, pemanfaatan ubijalar masih
terbatas pada makanan tradisional yang citranya dianggap rendah. Seiring dengan
program pemerintah untuk mempercepat diversifikasi konsumsi pangan berbasis
sumber daya lokal (P2KP), maka dikembangkan beragam produk olahan ubijalar,
baik dari umbi segar, pasta, tepung maupun pati yang menarik penampilan dan
citarasanya, relatif mudah pengolahannya, bergizi dan terjangkau harganya.
Produk tersebut, antara lain keripik, stik, beragam kue basah dan jajanan,
selai, saos, cake, kue kering,
rerotian, mie, dan jus dengan proporsi penggunaan ubijalar 10-100%. Untuk
menjamin pasokan bahan baku, diperlukan ketersediaan varietas unggul ubijalar berpotensi
hasil tinggi (> 25 t/ha) serta teknik budidaya yang tepat. Sejumlah varietas
unggul ubijalar telah dilepas dengan warna daging umbi yang berbeda,
diantaranya Sukuh, Shiroyutaka, dan Jago yang sesuai untuk bahan baku tepung
dan pati; Cangkuang, Sari, Kidal, Pattipi, Solossa untuk umbi kukus; Beta 1 dan Beta 2 yang kaya beta karoten;
Antin 1 (putih sembur ungu) untuk keripik dan calon varietas Antin 2 dan Antin
3 yang kaya antosianin. Pengembangan produksi dan industri pemanfaatan ubijalar
ke depan cukup prospektif seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan
makanan sehat dan adanya dukungan kebijakan untuk mengurangi impor pangan
dengan mengoptimalkan pemanfaatan bahan pangan lokal.
Kata
kunci: ubijalar, nilai gizi, khasiat kesehatan, diversifikasi olahan, varietas unggul.
ABSTRACT
Sweet potato is potentially used in
relation to food diversification as it is rich in carbohydrate, vitamins, and
minerals and has been well cultivated by farmers. The natural presence of beta
carotene as provitamin A, purple pigment of anthocyanin, which has antioxidant activity, dietary fiber, and low
to medium glycemic index, give added value of sweet potato as functional food. However,
the utilization of sweet potato is limited to traditional foods, which are considered
to have low image. Along with the implementation of local-based food
diversification program, a number of interesting, nutritious and affordable food
products derived from sweet potato fresh tuber, paste, flour, and starch have
been developed using simple processing methods. They include chips, stick,
snacks, ketchup, jam, cake, cookies, bread and bakery products, noodle, and
juice with a proportion of 10-100%. In order to guarantee fresh tuber supply, the
availability of high yielding improved varieties and appropriate cultivation
technologies is essential. A number of improved varieties of sweet potato has
been released with different flesh colours. Sukuh, Shiroyutaka, and Jago are
tailored for flour and starch purposes, while
Cangkuang, Sari, Kidal, and Pattipi, Solossa are likely suitable
for steamed/deep-fried tubers. Beta 1 and Beta 2 are rich in beta carotene,
Antin 1 (purplish white) is preferred for chips, Antin 2 and Antin 3 (to be
released) contain high anthocyanin. The development of sweet potato production
and food industries is promising along with the increase needs of healthy foods
and supported government policy to reduce imported foods through the optimal
utilization of local food crops.
Keywords: sweet
potato, nutrient, health benefit, product diversification, improved variety.
PENDAHULUAN
Diversifikasi pangan bertujuan untuk
mengurangi tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap beras dan terigu yang
konsumsinya telah mencapai 139 kg/kapita/tahun dan 17
kg/kapita/tahun (Astono, 2013) dengan meningkatkan produksi dan konsumsi
bahan pangan lokal. Program ini diperkuat dengan dikeluarkannya Perpres Nomor 22
tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber
Daya Lokal (P2KP) yang salah satu di antaranya adalah umbi-umbian. Tingkat konsumsi
umbi-umbian baru mencapai 40 g/kapita/hari atau sekitar 6% dari konsumsi ideal Pola Pangan Harapan (PPH),
yakni 100 g/kapita/hari. Saat ini kelompok padi-padian masih mendominasi,
sehingga konsumsi umbi-umbian perlu didorong dan ditingkatkan agar skor PPH
yang baru mencapai 75,5 pada tahun 2012 dapat memenuhi targer skor 93,3 pada
tahun 2014 dan 100 pada tahun 2020 (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2013).
Ubijalar telah cukup lama
dikenal dan dibudidayakan di Indonesia, bahkan di Papua dikonsumsi sebagai
makan pokok. Ditinjau dari nilai gizinya, ubijalar cukup memadai sebagai sumber
karbohidrat, mineral, vitamin, dan serat pangan serta memiliki indeks glikemik rendah sampai medium. Keberadaan pigmen warna
kuning/orange dan ungu serta kandungan senyawa fenol yang berkhasiat bagi
kesehatan karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, juga menempatkan posisi
penting ubijalar sebagai pangan fungsional (Ginting et al. 2011). Dari total
produksi ubijalar sebesar 2,2 juta ton (BPS, 2012), sekitar 78,8% dimanfaatkan
untuk bahan pangan dengan tingkat ketersediaan konsumsi 6,8 kg/kapita/tahun
(FAOSTAT, 2009). Namun produk olahannya masih terbatas pada bentuk ubi rebus/goreng, kolak, getuk, timus, dan kripik,
sehingga citranya seringkali dianggap rendah. Oleh karena itu, pemanfaatan
ubijalar perlu ditingkatkan melalui introduksi beragam produk
olahan yang menarik, bergizi, dan memiliki nilai tambah dengan teknologi
yang sederhana.
Diversifikasi pengolahan
ubijalar dapat menggunakan umbi segar, pasta, tepung dan pati. Produk tersebut, antara lain keripik, stik,
beragam kue basah dan jajanan, selai, saos, cake,
kue kering, rerotian, mie, dan jus dengan proporsi ubijalar 10-100% sebagai substitusi tepung terigu, beras atau ketan (Ginting
et al., 2012a). Volume impor gandum tahun
2012 telah mencapai 6,2 juta ton atau setara dengan US$ 2,2 miliar dan terigu sebesar 479.682 ton senilai US$ 188,8
juta (Teresia, 2013).
Porsi penggunaan
terigu terbesar adalah untuk bahan baku baku mie basah dan kering (30%), sedang sisanya
untuk mie instan (25%), cake dan bakery (20%), snacks dan biskuit (15%), rumah tangga (5%) dan gorengan 5%
(Welirang, 2002 dalam Gafar, 2010).
Usaha diversifikasi pengolahan ubijalar
memerlukan pasokan bahan baku yang
memadai dan kontinyu. Peningkatan produksi ubijalar dapat dilakukan melalui
penggunaan varietas unggul dengan teknik budidaya yang tepat. Sejumlah varietas
unggul dengan warna daging umbi berbeda (putih, kuning, orange, dan ungu) yang telah
dilepas dengan potensi hasil > 25 t/ha (Balitkabi, 2012) diharapkan dapat
mendukung penyediaan bahan baku ubijalar dan sesuai penggunaannya untuk produk
olahan yang dikehendaki.
NILAI GIZI DAN KHASIAT UBIJALAR BAGI KESEHATAN
Ubijalar kaya akan karbohidrat, mineral, dan vitamin,
namun miskin akan protein dan lemak (Tabel I), sehingga konsumsinya perlu didampingi oleh bahan
pangan lain yang berprotein tinggi,
seperti kacang-kacangan. Sebagai sumber karbohidrat, ubijalar memberi sumbangan
energi (111 Kal) yang kurang lebih setara
dengan ubikayu garut (136 Kal), talas (103 Kal), kentang (80 Kal),
nasi (135 Kal) maupun mie rebus (108 Kal) (Woolfe, 1992; Direktorat
Gizi Depkes RI, 1981). Kalium (K) merupakan jenis
mineral yang terbesar tertinggi jumlahnya, diikuti oleh P, Ca, Na dan Mg. Kandungan
vitamin C ubijalar juga cukup memadai bila dikaitkan dengan kebutuhan harian
orang dewasa 60-100 mg/hari.
Ubijalar juga kaya akan serat pangan, yakni 2,3-3,9 g/100 g bb pada
ubijalar ungu dan 2,3–3,3 g/100 g bb pada ubijalar kuning/putih (Huang et al., 1999). Pektin (serat pangan larut air) dapat meningkatkan keasaman usus sehingga menghambat pertumbuhan bakteri
merugikan, seperti E. coli dan S. faecalis dan juga mengikat kelebihan lemak, gula dan kolesterol di dalam darah. Sellulosa dan hemisellulosa (serat tidak larut air) yang mempunyai kemampuan mengikat air dan memperbesar volume
fases, dapat mencegah terjadinya sembelit pada kolon (Silalahi, 2006 dalam Ginting et al., 2011). Karbohidrat ubijalar memiliki indeks glikemik (IG) 54-68 (rendah sampai medium), lebih rendah bila dibandingkan dengan beras amilosa rendah (91-105), roti tawar putih (75) dan kentang panggang (73-97), namun sedikit lebih tinggi daripada ubikayu rebus (46)
(Ginting et al. 2011). Pangan dengan nilai IG rendah sesuai
untuk penderita diabetes dan obesitas.
Kandungan beta karoten pada ubijalar kuning/orange
berkisar 3.000-20.000 mg/100 g, lebih tinggi daripada labu kuning (1.500 mg/100 g), dan setara
dengan wortel (7.000-12.000 mg/100 g). Beta karoten memiliki 100% aktivitas vitamin A (provitamin A)
(Woolfe, 1992). Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan gangguan pada penglihatan, seperti
rabun senja, xerophthalmia hingga kebutaan dan terganggunya pertumbuhan (Gopalan, 1992
dalam Ginting et al., 2008). Penanggulangan defisiensi vitamin A melalui konsumsi ubijalar orange telah dilakukan di Afrika Selatan (van Jaarsveld et al. 2005). Beta karoten juga memiliki
kemampuan untuk menangkap radikal bebas (Hongmin et
al., 1996), sehingga dapat memberi pencegahan terhadap
kanker, penuaan, penurunan kekebalan, penyakit jantung, stroke, katarak,
sengatan cahaya matahari dan gangguan otot.
Pigmen antosianin pada ubijalar ungu memiliki aktivitas
antioksidan cukup tinggi, sehingga dapat mencegah terjadinya penuaan, kanker
dan penyakit-penyakit degeneratif, seperti aterosklerosis (Cevallos-Casals dan
Cisneros-Zevallos, 2002; Steed dan Truong 2008). Antosianin juga memiliki
kemampuan sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik (Yamakawa dan Yoshimoto,
2002), mencegah gangguan pada fungsi hati, antihipertensi dan antihiperglisemik (Suda et al.,
2003; Kobayashi
et al. 2005). Kadar antosianin ubijalar
tergantung pada intensitas warna ungu umbi (Ginting dan Utomo, 2011) dan dapat
mencapai 200 mg/100 g bb (Woolfe, 1992) hingga 211-243 mg/100g bb pada ubijalar
asal Peru (Cevallos-Casals
dan Cisneros-Zevallos, 2002). Antosianin ubijalar juga bersifat lebih stabil terhadap panas dan radiasi ultraviolet
(Suda et al. 2003).
Senyawa fenol utama
pada ubijalar adalah asam klorogenat dan
asam isokloregenat (Woolfe, 1992) yang berperan terhadap
aktivitas antioksidan ubijalar bersama-sama dengan antosianin (Oki et al.,
2002). Kandungan fenol
ubi jalar ungu 4,9-6,7 lebih tinggi dibandingkan ubijalar kuning dan putih
(Yashimoto et al. 1999) serta 2,5-3,2
lebih tinggi daripada blueberry
(Cevallos-Casals and Cisneros-Zevallos, 2004). Kandungan senyawa fenol ubijalar ungu asal Filipina dan Peru
dilaporkan sebesar 50,1–362,8 mg dan 838-945 mg setara asam galat /100 g bb (Rumbaoa et al., 2009; Cevallos-Casals
and Cisneros-Zevallos, 2002).
Tabel I. Kandungan gizi
ubijalar segar berdasarkan warna daging umbi
Kandungan Gizi
|
Ubi Putih
|
Ubi Kuning
|
Ubi Ungu
|
Pati (%)
|
28,79
|
24,47
|
22, 64
|
Gula reduksi (%)
|
0,32
|
0,11
|
0,30
|
Lemak (%)
|
0,77
|
0,68
|
0,94
|
Protein (%)
|
0,89
|
0,49
|
0,77
|
Air (%)
|
62,24
|
68,78
|
70,46
|
Abu (%)
|
0,93
|
0,99
|
0,84
|
Serat (%)
|
2,79
|
2,79
|
3,00
|
Vitamin C (mg/100 g)
|
28,68
|
25,00
|
21,43
|
Vitamin A (SI) a
|
60,00
|
9.000,00
|
-
|
Antosianin (mg/100 g)
|
-
|
-
|
110,51
|
Sumber: Suprapta
(2003) dalam Arixs
(2006); a Direktorat
Gizi Depkes RI (1981).
PRODUK OLAHAN UBIJALAR
Diversifikasi
pengolahan dengan bahan baku ubijalar dapat dilakukan melalui umbi segar, pasta, maupun bahan antara (tepung dan pati) yang perlu diolah lebih lanjut menjadi produk makanan siap santap.
1. Produk Olahan dari Ubijalar Segar
Ubi Kukus/Goreng
Ubijalar putih,
kuning, dan ungu memiliki
kadar air relatif
lebih rendah (keset) dan tekstur lebih mempur dibandingkan ubijalar orange yang cenderung lembek dan berair
(Ginting et al. 2008), sehingga sesuai untuk produk
yang dikukus maupun digoreng. Namun untuk ubijalar ungu, ubi kukus lebih baik
daripada ubi rebus karena sebagian antosianin akan hilang/larut di dalam air
rebusan.
Keripik
Ubijalar dengan warna umbi menarik, tekstur keset dan mempur serta tidak berserat, sesuai
untuk bahan baku keripik, seperti varietas Antin 1 (putih sembur ungu). Irisan umbi direndam sekitar 10
menit dalam larutan soda kue untuk meningkatkan kerenyahannya. Penggorengan
dengan vacuum frying pada
suhu 135oC selama 10 menit dapat menghasilkan warna keripik yang lebih cerah
dibandingkan dengan penggorengan biasa.
Stik Ubijalar
Stik ubijalar yang mirip dengan stik kentang (French fries) menghendaki produk yang
renyah bila digoreng, tidak mudah melempem dan rasanya gurih. Proses
pembuatannya, meliputi pencucian umbi, pengupasan, perendaman dalam air,
perajangan membentuk stik, blanching (perebusan
7,5-10 menit), penirisan, pemberian bumbu (garam, bawang putih, soda kue, air),
penggorengan, dan penirisan minyak (Suprapto, 2004).
Pasta
Ubijalar
Pasta ubijalar adalah umbi kukus yang
dihaluskan/digiling dan selanjutnya dapat diolah menjadi beragam produk
makanan, diantaranya:
Jus Ubijalar
Jus
ubijalar cukup dikenal di Filipina, Thailand, dan Jepang (Suda et al. 2003). Jus dibuat dengan cara mencampur
pasta ubijalar yang berwarna ungu
kemerahan atau orange tua dengan air es, gula, dan asam sitrat. Untuk
mendapatkan aroma buah-buahan, pasta dapat dicampur dengan buah yang berwarna
ungu, seperti anggur atau kuning (jeruk dan nanas).
Saos
dan Selai Ubijalar
Proporsi pasta ubijalar dalam pembuatan saos
60-100% dengan penambahan asam cuka dan pewarna makanan. Saos dari ubijalar
berukuran kecil (tidak memiliki nilai jual), ternyata sama kualitasnya dengan yang
berasal dari ubijalar berukuran besar (Ginting et al. 2007). Ubijalar ungu juga dapat digunakan untuk saos karena antosianin
akan berubah warna menjadi merah pada kondisi asam (Suda et al. 2003).
Selai
ubijalar diolah dari campuran 50% pasta
ubijalar dengan 50% bubur buah-buahan (Ginting et al. 2012a). Ubijalar ungu dapat dicampur dengan anggur atau buah
naga merah, sementara yang dagingnya kuning dicampur dengan nanas dan yang
orange dengan mangga. Pektin komersial
perlu ditambahkan agar tektur selai kokoh dan pH selai sebaiknya 3-3,5 agar
terbentuk gel yang baik dan selai lebih awet disimpan.
Mie Ubijalar
Mie dari pasta ubijalar dapat
mensubstitusi 40% terigu (Utomo dan Yulifianti, 2012), lebih tinggi daripada tepung ubijalar (20%)
(Ginting et al. 2006). Proses
pengolahan mie, meliputi pencampuran pasta dengan telur, garam dan bumbu,
dibuat adonan kemudian dicetak menggunakan gilingan mie. Selanjutnya
direbus/dikukus sebentar untuk mendapatkan mie basah dan dikeringkan dengan
oven untuk mendapatkan mie kering. Warna mie ubijalar cukup menarik, terutama
yang berasal dari ubijalar orange dan ungu.
Es Krim Ubijalar
Pada pembuatan es krim, pasta
ubijalar ungu (50%) dicampur dengan bahan pembuat es krim komersial, susu dan
air sehingga terbentuk warna ungu alami. Selanjutnya
dimasukkan ke dalam kemasan dan disimpan dalam freezer minimal 24 jam.
Kue Basah/Jajanan
Beragam
kue basah/jajanan dapat diolah dari pasta ubijalar kuning, orange maupun ungu,
diantaranya bakpao, kue mangkok, onde-onde, bolu gulung, puding, pukis, lumpur,
terang bulan, waffel, muffin dan stik
dengan tingkat substitusi terigu/tepung ketan 30-80% (Ginting et al. 2012a). Dengan warna menarik dan tekstur
yang cenderung empuk, umumnya produk olahan ini cukup disukai.
2. Produk antara
ubijalar dan produk olahannya
Tepung Ubijalar
Proses pengolahan
tepung
ubijalar, meliputi pencucian, pengupasan, pengirisan, perendaman dalam natriumbisulfit
(0,2% b/b, 15 menit) untuk mencegah terbentuknya warna coklat/gelap, pencucian,
pengeringan, penggilingan, pengayakan, pengemasan (Ginting et al., 2006). Rendemen
tepung ubijalar berkisar antara 18–30% (Antarlina dan Jusuf, 2001 dan tahan disimpan sampai 6 bulan. Untuk kue kering (cookies), jajanan basah dan cake,
tepung ubijalar dapat mensubstitusi terigu 50-100% dan
hanya 10% untuk roti tawar dan 20% untuk mie (Ginting et al. 2006; Ali dan Ayu, 2009). Pada pembuatan jenang, tepung ubijalar ungu dapat
mensubstitusi 50% tepung ketan dan 15% bahan es krim komersial (Ginting et al. 2012a).
Kubus dan
Granula Instan
Tahap pengolahan
kubus instan, meliputi pengupasan umbi, pencucian, pemotongan berbentuk kubus kecil, pengukusan, pengeringan dan pengemasan. Granula instan dibuat dengan cara menghaluskan umbi kukus, dicetak dengan gilingan daging
dan dipotong-potong kecil lalu dikeringkan (Utomo dan Antarlina, 2002). Kubus dan granula instan dapat dikonsumsi setelah direndam dalam air
dan dikukus kembali 10-15 menit. Kedua produk ini dapat disimpan sebagai cadangan makanan dan digiling menjadi tepung untuk substitusi terigu pada
pembuatan roti manis dan donat
masing-masing 20% dan 25-40% (Ginting et
al., 2006) dan 10% pada roti tawar (Utomo
dan Antarlina, 2002) serta makanan pendamping
ASI untuk balita.
Pati ubijalar
Industri pati ubijalar di Indonesia belum
berkembang dibandingkan dengan Cina, Korea, Taiwan dan Jepang yang terutama
digunakan untuk bahan baku suun. Pati
ubijalar dibuat melalui tahapan: pencucian umbi, pemarutan, perendaman dalam
natriumbisulfit 0,1% (15 menit), pemerasan (2 kali), pengendapan, pencucian (2
kali), pengeringan, penggilingan dan pengayakan (100 mesh) dengan variasi
rendemen 14,1-19,5% (Ginting et al.,
2005). Pada
pembuatan roti tawar dan roti manis, pati ubijalar dapat mensubstitusi terigu
sampai 25% dan 40% (Ginting dan Suprapto, 2005), lebih tinggi dibandingkan
dengan tepung ubijalar (10%).
VARIETAS UNGGUL UBIJALAR
MENDUKUNG DIVERSIFIKASI PANGAN
Antara tahun 1998-2009, telah dilepas sekitar 14 varietas unggul ubijalar dengan warna daging umbi yang
bervariasi dan potensi hasil yang terus meningkat dari tahun ke tahun (Tabel II). Sebagian besar varietas tersebut sesuai untuk tujuan konsumsi langsung (dikukus/digoreng) dengan rasa umbi yang enak, manis, dan tekstur remah (keset), diantaranya Cangkuang, Kidal, Sari, dan Boko. Varietas ubijalar Papua
Solossa, dan Papua Pattipi dan Sawentar yang sesuai untuk dataran tinggi (>
750 m dpl), sangat disukai rasanya oleh petani di Papua. Sebagian ubijalar
kuning/orange cenderung memiliki tekstur lembek dan berair (Woolfe, 1992), sehingga kurang
disukai untuk ubi kukus/goreng. Sebagai contoh varietas Cilembu yang berasal
dari Kuningan, Jawa Barat memiliki rasa
enak/manis, namun tekstur agak lembek sehingga diolah dengan cara dioven. Pada
saat pemanggangan, kandungan gula bertambah karena aktivitas hidrolisis pati oleh enzim a-amilase (suhu optimum 70-75oC) menjadi maltosa dan dekstrin (Losh et al., 1981).
Varietas Beta 1 kaya
akan beta karoten (12.031 mg/100 g), namun memiliki kadar
air tinggi, tekstur umbi kukus lembek dan berasa manis (Ginting et
al., 2008). Oleh karena itu, penggunaan pasta umbi kukusnya lebih sesuai untuk bahan baku/campuran pada
produk selai, mie, jus, bolu gulung,
bakpao, dan kue mangkok (Ginting et al., 2012a). Varietas Beta 2 dengan warna umbi kukus kuning dan
tekstur agak lembek, pastanya sesuai untuk diolah menjadi beragam kue
basah/jajanan, seperti pukis, lumpur, bika, terang bulan, waffel, dan lain-lain
dengan proporsi 50% menggantikan terigu. Selain itu, juga dapat digunakan
sebagai campuran 50% selai nanas (Ginting et
al., 2012a).
Varietas Sukuh dan Shiroyutaka (daging umbi putih)
dan Jago (umbi kuning muda) (Tabel II) sesuai untuk bahan baku tepung dan pati
karena kadar bahan keringnya tinggi. Penggunaan tepung ubijalar pada pembuatan
kue kering (cookies) dan bolu (cake) dapat mensubstitusi 50-100% terigu
(Ginting et al. 2006). Ayamurasaki yang merupakan varietas introduksi ubijalar
ungu dari Jepang dan telah banyak dibudidayakan petani di daerah Malang dan sekitarnya,
mengandung antosianin 70,41 mg/100 g (Ginting et al., 2012b). Varietas Antin 1 yang
daging umbinya putih sembur ungu (Tabel II), sesuai untuk bahan baku keripik
dengan kadar antosianin 7,96 mg/100 g (Ginting et al., 2012b). Dua calon varietas unggul ubijalar ungu lainnya,
yakni Antin 2 (klon RIS 03063-05) dan Antin 3 (klon MSU 03028-10) siap dilepas tahun 2013 dengan
kadar antosianin 130,19 mg/100 g dan 150,67 mg/100 g (Jusuf et al., 2013). Pasta umbi kukus varietas Ayamurasaki dan Antin 2 memiliki
warna ungu kemerahan, sehingga sesuai untuk diolah menjadi jus, mie, selai, es
krim, es puter, beragam kue basah, seperti bakpao, kue mangkok, onde-onde,
puding, bolu gulung, dan muffin dengan proporsi penggunaan 30-100% (Ginting et al. 2012a). Sementara Antin 3 dengan
warna ungu tua sesuai untuk bahan baku tepung dan pewarna alami (Jusuf et al., 2013).
Tabel II.
Varietas unggul ubijalar yang telah dirilis mulai tahun 1998-2013
Varietas
|
Warna daging
umbi
|
Tahun
dirilis
|
Potensi hasil
(t/ha)
|
Kegunaan
|
Sewu
|
Orange
|
1998
|
28,5-30
|
Konsumsi
|
Cangkuang
|
Kuning muda
|
1998
|
30-31
|
Konsumsi
|
Sukuh
|
Putih
|
2001
|
25-30
|
Industri (tepung dan pati)
|
Jago
|
Kuning muda
|
2001
|
25-30
|
Industri (tepung dan pati)
|
Kidal
|
Kuning tua
|
2001
|
25-30
|
Konsumsi
|
Sari
|
Kuning tua
|
2001
|
30-35
|
Konsumsi
|
Boko
|
Krem
|
2001
|
25-30
|
Konsumsi
|
Cilembu
|
Krem kemerahan/kuning
|
2001`
|
20
|
Konsumsi
|
Shiroyutaka
|
Putih
|
2003
|
25-30
|
Industri (tepung dan pati)
|
Papua Solossa
|
Kuning tua
|
2006
|
30
|
Konsumsi
|
Papua Pattipi
|
Kuning pucat
|
2006
|
32,5
|
Konsumsi
|
Sawentar
|
Krem
|
2006
|
30
|
Konsumsi
|
Beta-1
|
Orange tua
|
2009
|
35,7
|
Konsumsi
|
Beta-2
|
Orange
|
2009
|
34,7
|
Konsumsi
|
Antin-1
|
Putih sembur ungu
|
2013
|
33,2
|
Industri (keripik)
|
Antin-2 a
|
Ungu kemerahan
|
2013
|
37,1
|
Konsumsi
|
Antin-3 a
|
Ungu tua
|
2013
|
30,6
|
Industri (tepung dan pewarna)
|
Sumber: Balitkabi (2012); a calon varietas (Jusuf et al., 2013).
PROSPEK USAHA PENGOLAHAN UBIJALAR
Sejauh ini, produk industri pengolahan ubijalar,
terutama industri rumah tangga masih terbatas pada keripik dan carang mas serta saos untuk industri kecil-menengah. Oleh karena itu,
informasi ketersediaan beragam produk olahan ubijalar perlu disosialisasikan kepada
konsumen sebagai pengguna maupun pengrajin/industri sebagai produsen. Introduksi
produk olahan ubijalar yang menarik penampilan dan citarasanya, bergizi, dan
terjangkau harganya, berpeluang untuk meningkatkan
nilai tambah. Demikian pula promosi ubijalar sebagai pangan fungsional, akan
meningkatkan citra sekaligus daya saing produknya di pasaran sejalan dengan
meningkatnya kesadaran dan kebutuhan masyarakat akan pangan sehat dan aman.
Hal ini tampak pada outlet Bakpao Telo,
produsen beragam produk ubijalar
ungu, seperti keripik, es krim, bakpao, jus, kue mangkok, kue kering, pizza,
bakpia, brownies, dan mie kering yang dijual dalam kemasan menarik dengan harga
yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan produk olahan tradisional
ubijalar. Dengan tagline ‘health is our priority’, perusahaan yang berada di perbatasan Malang
dan Pasuruan ini, banyak dikunjungi oleh wisatawan dan tamu yang ingin melihat beragam
olahan ubijalar.
Berkembangnya usaha pengolahan ubijalar akan
merangsang petani untuk meningkatkan produksi ubijalar dengan mengadopsi
varietas unggul berpotensi hasil tinggi (> 25 t/ha) dan teknik budidaya yang
tepat. Harga jual ubijalar ungu di pasaran yang hampir
dua kali lipat harga ubijalar putih atau kuning/orange juga merupakan daya
tarik tersendiri bagi petani karena pasar tersedia. Dukungan nyata kebijakan
yang berpihak kepada industri berbahan baku pangan lokal dari hulu sampai hilir
sangat diperlukan untuk pengembangan agroindustri berbasis ubijalar. Kelompok
wanita tani (KWT), ibu-ibu PKK, dan pengrajin
dapat dilatih untuk menjadi produsen makanan dari ubijalar. Kebijakan
pemerintah daerah untuk menyajikan makanan non-beras dan non-terigu pada setiap
rapat dinas/kegiatan, penerapan program ’One
day no rice’ yang mendapat apresiasi
untuk kota Depok (Astono, 2013), bantuan modal dan peralatan akan memacu pengembangan usaha pengolahan dan
pemasaran produk yang dihasilkan oleh pengrajin lokal.
KESIMPULAN
Ubijalar yang kaya akan gizi dan kandungan bioaktifnya
berkhasiat bagi kesehatan, potensial untuk diolah menjadi beragam produk
pangan, baik dari umbi segar, pasta maupun tepung dan patinya dengan proporsi
penggunaan 10-100%. Upaya ini berkontribusi besar dalam mendukung program
diversifikasi pangan karena dapat mengurangi impor terigu, meningkatkan citra
dan nilai tambah produk pangan lokal serta meningkatkan pendapatan petani
melalui peningkatan produksi ubijalar. Usaha pengolahan ubijalar cukup
prospektif ditinjau dari ketersediaan varietas unggul untuk penyediaan bahan
baku, teknologi pengolahan yang relatif sederhana dan dukungan kebijakan yang
mendorong optimalisasi pemanfaatan bahan pangan lokal, sosialisasi/pelatihan, bantuan modal dan
peralatan serta fasilitas pemasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. dan D.F. Ayu. 2009.
Substitusi tepung terigu dengan tepung pati ubijalar (Ipomoea batatas L.) pada
pembuatan mie kering. Sagu 8(1):1-4.
Antarlina, S.S. dan M. Jusuf.
2001. Pengolahan tepung ubijalar beberapa varietas pada umur panen yang
berbeda. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Alat dan Mesin Pertanian untuk
Agribisnis. Badan Litbang Pertanian – PERTETA. Jakarta. hlm. 227-235.
Arixs. 2006. Mengenalkan olahan bahan pangan nonberas Bangli,
Denpasar, Badung. http://www.tokoh.co.id/application.htm. (tanggal akses 14
April 2007).
Astono,
B. 2013. Diversifikasi pangan: Gerakan dari kantin balaikota Depok. Kompas, 18
Nopember 2013.
Balitkabi. 2012.
Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balai
Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. 185 hlm.
BPS. 2012. Statistik Indonesia 2012. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Cevallos-Casals, B.A. and L.A. Cisneros-Zevallos. 2002. Bioactive and functional properties of purple sweetpotato (Ipomoea batatas (L.) Lam). Acta Hort.
583:195-203.
Cevallos-Casals, BA and L.A.
Cisneros-Zevallos. 2004. Stability
of anthocyanin-based aqueous extract of Andean purple corn and red-fleshed
sweet potato compared to synthetic and natural colorants. Food Chem. 86:69-77.
Direktorat Gizi Depkes RI. 1981. Daftar komposisi
bahan makanan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
FAOSTAT. 2009. Statistical
database of food balance sheet. www.fao.org.
(accessed on 6 February 2013).
Gafar, S. 2010. Diversifikasi pangan berbasis tepung belajar dari
pengelolaan kebijakan terigu. http://www.majalahpangan.com/2010/04/diversifikasi-pangan-berbasis-tepung-belajar-dari-pengelolaan-kebijakan-terigu
(tanggal akses 3 Desember 2010).
Ginting, E. dan Suprapto. 2005. Pemanfaatan
pati ubijalar sebagai substitusi terigu pada pembuatan roti manis. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pasca Panen untuk Pengembangan Industri
Berbasis Pertanian. Bogor, 7-8 September 2005. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pasca Panen Pertanian. Bogor. hlm 86-97.
Ginting,
E., Y. Widodo, S.A. Rahayuningsih dan M. Yusuf. 2005. Karakteristik pati beberapa varietas ubijalar. Jurnal Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 24 (1):9-18.
Ginting, E., S.S. Antarlina, J.S. Utomo dan Ratnaningsih. 2006. Teknologi
pasca panen ubijalar mendukung diversifikasi pangan dan pengembangan
agroindustri. Buletin Palawija (11):15-28.
Ginting, E., N. Prasetiaswati dan Y. Widodo. 2007. Ubijalar
ukuran kecil untuk saos dan selai. Iptek Tanaman Pangan 2(1):110-122.
Ginting, E., J.S. Utomo, R. Yulifianti, dan M. Jusuf. 2011. Potensi
ubijalar ungu sebagai pangan fungsional. Iptek Tanaman Pangan
6(1) :116-138.
Ginting, E.
and J.S. Utomo. 2011. Anthocyanins and total
phenolic contents of purple-fleshed sweet potato cultivars and their antioxidant activity. In B. Kusbiantoro, L.K. Darusman, S. Budianto and N. Bermawie (eds).
Proceedings of the International Conference on Nutraceuticals and
Functional Foods in Denpasar, Bali on 12-15 th October,
2010. Indonesian Centre for Rice Research, AARD. Jakarta.
p.101-114.
Ginting, E., J.S. Utomo dan R. Yulifianti. 2012a. Aneka produk olahan
kacang dan umbi. Balai Penelitian Tanaman kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang.
48 hlm.
Ginting, E. R. Yulifianti, Suprapto dan L.
Kusumawati. 2012b. Identifikasi sifat fisik dan kimia klon-klon harapan ubijalar kaya
antosianin dan
kesesuaian pemanfaatannya untuk produk pangan. Laporan Teknis Penelitian No:
1807.019.001.013.3.6/DIPA/2012. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian. Malang. 21 hlm.
Ginting, E. J.S. Utomo dan M. Jusuf. 2013. Identifikasi
sifat fisik, kimia dan sensoris klon-klon harapan ubijalar kaya beta karoten. Dalam
A.A. Rahmianna, E. Yusnawan, A. Taufia, Sholihin, Suharsono, T. Sundari,
Hermanto (Ed). Peningkatan Daya Saing dan Implementasi Pengembangan Komoditas
Kacang dan Umbi Mendukung Pencapaian Empat Sikses Pembangunan Pertanian.
Prosiding Seminar Nasional Hasil penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi tahun
2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor. hlm 603-614.
Huang, Y.H, L. Tanudjaja and D. Lum.
1999. Content of alpha-, beta-carotene and dietary fibre in 18 sweetpotato
varieties grown in Hawaii. J. Food Comp. Anal.
12:147-151.
Hongmin, L., G.
Xiaoding and M. Daifu. 1996. Orange-flesh sweetpotato, a potential source for b-karoten production. In E.t. Rasco and V.R.
Amante (Eds). Selected Research Papers July 1995-June 1996. Vol. 2:
Sweetpotato. ASPRAD. Manila, Philippines. p. 126-130.
Jusuf,
M., St. A. Rahayuningsih, T.S. Wahyuni, E. Ginting, R. Yulifianti, J. Restuono dan
G. Santoso. 2013. Proposal usulan pelepasan varietas ubijalar klon harapan RIS
03063-05 dan MSU 03028-10 calon varietas unggul ubijalar kaya antosianin. Balai
Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Malang. 129 hlm.
Kobayashi, M., T. Oki, M. Masuda, S.
Nagai, K. Fukui, K. Matsugano and I. Suda. 2005. Hypotensive effect of
anthocyanin-rich extract from purple-fleshed sweet potato cultivar ‘Ayamurasaki’ in spontaneously hypertensive
rats. J. Japanese Soc. Food Sci.
Technol. 52:41-44.
Losh, J.M., J.A. Philips, J.M. Axelson and R.S. Schulman. 1981. Sweet potato quality after baking. J. Food Sci. 46:283-290.
Oki, S.,
M. Masuda, S. Furuta, Y. Nishiba, N. Terahara and I. Suda. 2002. Involvement of anthocyanins and other phenolic
compounds in radical-scavenging activity of purple- fleshed sweet potato
cultivars. J. Food Sci. 67 (5):1752-1756.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013.
Penjelasan umum. Buletin Konsumsi Pangan 4(1):1-5.
Rumbaoa, R.G.O., D.F. Cornago and
I.M. Geronimo. 2009. Phenolic content and antioxidant capacity of Philippine sweet
potato (Ipomoea batatas) varieties.
Food Chem. 113:1133-1138.
Steed, L.E., and Truong, V. 2008.
Anthocyanin content, antioxidant activity and selected physical properties of
flowable purple-fleshed sweetpotato purees. J. Food Sci. 73(5):S215-S221.
Suda, I., T. Oki,
M. Masuda, M. Kobayashi, Y. Nishiba and S. Furuta. 2003. Physiological
functionality of purple-fleshed sweet potatoes containing anthocyanins and
their utilization in foods. JARQ 37(3):167-173.
Suprapto.
2004. Pengaruh lama blanching terhadap
kualitas stik ubijalar (Ipomoea batats L.) dari tiga varietas. hlm. 220-228. Dalam D. Priyanto, H. Budiman, S.
Askar, K. Barkah, P. Kushartono dan S. Sitompul (ed). Prosiding Temu teknis
Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2004. Bogor, 13 Agustus 2004. Puslitbang
Peternakan, Bogor.
Teresia, A. 2013.
Indonesia didesak kurangi impor gandum. http://www.tepmpo.co/read/news/2013/07/24/090499391/Indonesia-Didesak-Kurangi-Impor-Gandum (tanggal akses 18
Nopember 2013).
Utomo, J.S. dan
S.S. Antarlina. 2002. Tepung instan ubijalar untuk pembuatan roti
tawar. Pangan (BULOG) 11(38):54-60.
Utomo, J.S. dan R. Yulifianti. 2012.
Karakteristik mie berbahan baku terigu lokal dan ubijalar ungu. Dalam A. Widjono, Hermanto, N.
Nugrahaeni, A.A. Rahmianna, Suharsono, F. Rozi, E. Ginting, A. Taufiq, A.
Harsono, Y. Prayogo dan E. Yusnawan (Ed). Inovasi Teknologi dan Kajian Ekonomi
Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Empat Sukses Kementerian Pertanian.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun
2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. hlm. 768-775.
van Jaarsveld, P.J.,
M. Faber, S.A. Tanumihardjo, P. Nestel, C.J. Lombard, and A.J.S. Benade. 2005.
β-carotene-rich orange-fleshed sweet potato improves the vitamin A status of
primary school children assessed with modified-relative-dose-response test.
American J. Clinic. Nutr. 81:1080-1087.
Woolfe, J.A. 1992.
Sweet potato an untapped food resource. Cambridge University Press. Cambridge.
Yamakawa, O and M. Yashimoto. 2002. Sweetpotato as food material with
physiological functions. Acta Hort. 583:179-185.
Yashimoto, M., S.
Okuna, M. Yoshinaga, O. Yamakawa, M. Yamaguchi and J. Yamada. 1999. Antimutagenicity of sweet potato (Ipomoae
batatas) root. Biosci. Biotech. Biochem. 63:541-543.
No comments:
Post a Comment