Translate

Ad

Thursday, July 2, 2020

Full Paper: UBIJALAR SEBAGAI BAHAN DIVERSIFIKASI PANGAN LOKAL


UBIJALAR SEBAGAI BAHAN DIVERSIFIKASI PANGAN LOKAL
Erliana Ginting, Rahmi Yulifianti dan M. Jusuf
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
PO Box 66 Malang 65101; Telp. 61-034180148; Fax 61-0431801496;
e-mail:  erlianaginting@yahoo.com

ABSTRAK
Ubijalar potensial sebagai bahan diversifikasi pangan karena kaya akan karbohidrat, vitamin dan mineral serta telah lama dikenal dan dibudidayakan petani. Keberadaan pigmen orange sebagai provitamin A, pigmen ungu antosianin sebagai antioksidan, serat pangan, dan indeks glikemiknya yang berkisar antara rendah sampai medium, merupakan nilai tambah ubijalar sebagai pangan fungsional. Namun sejauh ini, pemanfaatan ubijalar masih terbatas pada makanan tradisional yang citranya dianggap rendah. Seiring dengan program pemerintah untuk mempercepat diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal (P2KP), maka dikembangkan beragam produk olahan ubijalar, baik dari umbi segar, pasta, tepung maupun pati yang menarik penampilan dan citarasanya, relatif mudah pengolahannya, bergizi dan terjangkau harganya. Produk tersebut, antara lain keripik, stik, beragam kue basah dan jajanan, selai, saos, cake, kue kering, rerotian, mie, dan jus dengan proporsi penggunaan ubijalar 10-100%. Untuk menjamin pasokan bahan baku, diperlukan ketersediaan varietas unggul ubijalar berpotensi hasil tinggi (> 25 t/ha) serta teknik budidaya yang tepat. Sejumlah varietas unggul ubijalar telah dilepas dengan warna daging umbi yang berbeda, diantaranya Sukuh, Shiroyutaka, dan Jago yang sesuai untuk bahan baku tepung dan pati; Cangkuang, Sari, Kidal, Pattipi, Solossa untuk umbi kukus;  Beta 1 dan Beta 2 yang kaya beta karoten; Antin 1 (putih sembur ungu) untuk keripik dan calon varietas Antin 2 dan Antin 3 yang kaya antosianin. Pengembangan produksi dan industri pemanfaatan ubijalar ke depan cukup prospektif seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan makanan sehat dan adanya dukungan kebijakan untuk mengurangi impor pangan dengan mengoptimalkan pemanfaatan bahan pangan lokal.
 Kata kunci: ubijalar, nilai gizi, khasiat kesehatan, diversifikasi olahan, varietas unggul.

ABSTRACT
Sweet potato is potentially used in relation to food diversification as it is rich in carbohydrate, vitamins, and minerals and has been well cultivated by farmers. The natural presence of beta carotene as provitamin A, purple pigment of anthocyanin, which has antioxidant activity, dietary fiber, and low to medium glycemic index, give added value of sweet potato as functional food. However, the utilization of sweet potato is limited to traditional foods, which are considered to have low image. Along with the implementation of local-based food diversification program, a number of interesting, nutritious and affordable food products derived from sweet potato fresh tuber, paste, flour, and starch have been developed using simple processing methods. They include chips, stick, snacks, ketchup, jam, cake, cookies, bread and bakery products, noodle, and juice with a proportion of 10-100%. In order to guarantee fresh tuber supply, the availability of high yielding improved varieties and appropriate cultivation technologies is essential. A number of improved varieties of sweet potato has been released with different flesh colours. Sukuh, Shiroyutaka, and Jago are tailored for flour and starch purposes, while  Cangkuang, Sari, Kidal, and Pattipi, Solossa are likely suitable for steamed/deep-fried tubers. Beta 1 and Beta 2 are rich in beta carotene, Antin 1 (purplish white) is preferred for chips, Antin 2 and Antin 3 (to be released) contain high anthocyanin. The development of sweet potato production and food industries is promising along with the increase needs of healthy foods and supported government policy to reduce imported foods through the optimal utilization of local food crops.
Keywords: sweet potato, nutrient, health benefit, product diversification, improved variety.

PENDAHULUAN
Diversifikasi pangan bertujuan untuk mengurangi tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap beras dan terigu yang konsumsinya telah mencapai 139 kg/kapita/tahun dan 17 kg/kapita/tahun (Astono, 2013) dengan meningkatkan produksi dan konsumsi bahan pangan lokal. Program ini diperkuat dengan dikeluarkannya Perpres Nomor 22 tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal (P2KP) yang salah satu di antaranya adalah umbi-umbian. Tingkat konsumsi umbi-umbian baru mencapai 40 g/kapita/hari atau sekitar 6% dari konsumsi ideal Pola Pangan Harapan (PPH), yakni 100 g/kapita/hari.  Saat ini kelompok padi-padian masih mendominasi, sehingga konsumsi umbi-umbian perlu didorong dan ditingkatkan agar skor PPH yang baru mencapai 75,5 pada tahun 2012 dapat memenuhi targer skor 93,3 pada tahun 2014 dan 100 pada tahun 2020 (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2013).
Ubijalar telah cukup lama dikenal dan dibudidayakan di Indonesia, bahkan di Papua dikonsumsi sebagai makan pokok. Ditinjau dari nilai gizinya, ubijalar cukup memadai sebagai sumber karbohidrat, mineral, vitamin, dan serat pangan serta memiliki indeks glikemik rendah sampai medium. Keberadaan pigmen warna kuning/orange dan ungu serta kandungan senyawa fenol yang berkhasiat bagi kesehatan karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, juga menempatkan posisi penting ubijalar sebagai pangan fungsional (Ginting et al. 2011).  Dari total produksi ubijalar sebesar 2,2 juta ton (BPS, 2012), sekitar 78,8% dimanfaatkan untuk bahan pangan dengan tingkat ketersediaan konsumsi 6,8 kg/kapita/tahun (FAOSTAT, 2009). Namun produk olahannya masih terbatas pada bentuk ubi rebus/goreng, kolak, getuk, timus, dan kripik, sehingga citranya seringkali dianggap rendah.  Oleh karena itu, pemanfaatan ubijalar perlu ditingkatkan melalui introduksi beragam produk olahan yang menarik, bergizi, dan memiliki nilai tambah dengan teknologi yang sederhana.
Diversifikasi pengolahan ubijalar dapat menggunakan umbi segar, pasta, tepung dan pati. Produk tersebut, antara lain keripik, stik, beragam kue basah dan jajanan, selai, saos, cake, kue kering, rerotian, mie, dan jus dengan proporsi ubijalar 10-100% sebagai  substitusi tepung terigu, beras atau ketan (Ginting et al., 2012a). Volume impor gandum tahun 2012 telah mencapai 6,2 juta ton atau setara dengan US$ 2,2 miliar dan terigu sebesar 479.682 ton senilai US$ 188,8 juta  (Teresia, 2013). Porsi penggunaan terigu terbesar adalah untuk bahan baku baku  mie basah dan kering (30%), sedang sisanya untuk mie instan (25%), cake dan bakery (20%), snacks dan biskuit (15%), rumah tangga (5%) dan gorengan 5% (Welirang, 2002 dalam Gafar, 2010).
Usaha diversifikasi pengolahan ubijalar memerlukan  pasokan bahan baku yang memadai dan kontinyu. Peningkatan produksi ubijalar dapat dilakukan melalui penggunaan varietas unggul dengan teknik budidaya yang tepat. Sejumlah varietas unggul dengan warna daging umbi berbeda (putih, kuning, orange, dan ungu) yang telah dilepas dengan potensi hasil > 25 t/ha (Balitkabi, 2012) diharapkan dapat mendukung penyediaan bahan baku ubijalar dan sesuai penggunaannya untuk produk olahan yang dikehendaki.

NILAI GIZI DAN KHASIAT UBIJALAR BAGI KESEHATAN
Ubijalar kaya akan karbohidrat, mineral, dan vitamin, namun miskin akan protein dan lemak (Tabel I), sehingga konsumsinya perlu didampingi oleh bahan pangan lain yang berprotein  tinggi, seperti kacang-kacangan. Sebagai sumber karbohidrat, ubijalar memberi sumbangan energi (111 Kal) yang kurang lebih setara dengan ubikayu garut (136 Kal), talas (103 Kal), kentang (80 Kal), nasi (135 Kal) maupun mie rebus (108 Kal)  (Woolfe, 1992; Direktorat Gizi Depkes RI, 1981). Kalium (K) merupakan jenis mineral yang terbesar tertinggi jumlahnya, diikuti oleh P, Ca, Na dan Mg. Kandungan vitamin C ubijalar juga cukup memadai bila dikaitkan dengan kebutuhan harian orang dewasa 60-100 mg/hari.
Ubijalar juga kaya akan serat pangan, yakni 2,3-3,9 g/100 g bb pada ubijalar ungu dan 2,3–3,3 g/100 g bb pada ubijalar kuning/putih (Huang et  al., 1999). Pektin (serat pangan larut air) dapat meningkatkan keasaman usus sehingga menghambat pertumbuhan bakteri merugikan, seperti E. coli dan S. faecalis dan juga mengikat kelebihan lemak, gula dan kolesterol di dalam darah. Sellulosa dan hemisellulosa (serat tidak larut air) yang mempunyai kemampuan mengikat air dan memperbesar volume fases, dapat mencegah terjadinya sembelit pada kolon (Silalahi, 2006 dalam Ginting et al., 2011). Karbohidrat ubijalar memiliki indeks glikemik (IG) 54-68 (rendah sampai medium), lebih rendah bila dibandingkan dengan beras amilosa rendah (91-105), roti tawar putih (75) dan kentang panggang (73-97), namun sedikit lebih tinggi daripada ubikayu rebus (46) (Ginting et al. 2011). Pangan dengan nilai IG rendah sesuai untuk  penderita diabetes dan obesitas.
Kandungan beta karoten pada ubijalar kuning/orange berkisar 3.000-20.000 mg/100 g, lebih tinggi daripada labu kuning (1.500 mg/100 g), dan setara dengan  wortel (7.000-12.000 mg/100 g). Beta karoten memiliki 100% aktivitas vitamin A (provitamin A) (Woolfe, 1992). Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan gangguan pada penglihatan, seperti rabun senja, xerophthalmia hingga kebutaan dan terganggunya pertumbuhan (Gopalan, 1992 dalam Ginting et al., 2008). Penanggulangan defisiensi vitamin A melalui konsumsi ubijalar orange telah dilakukan di Afrika Selatan (van Jaarsveld et al. 2005). Beta karoten juga memiliki kemampuan  untuk menangkap radikal bebas (Hongmin et al., 1996), sehingga dapat memberi pencegahan terhadap kanker, penuaan, penurunan kekebalan, penyakit jantung, stroke, katarak, sengatan cahaya matahari dan gangguan otot.
Pigmen antosianin  pada ubijalar ungu memiliki aktivitas antioksidan cukup tinggi, sehingga dapat mencegah terjadinya penuaan, kanker dan penyakit-penyakit degeneratif, seperti aterosklerosis (Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos, 2002; Steed dan Truong 2008). Antosianin juga memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik (Yamakawa dan Yoshimoto, 2002), mencegah gangguan pada fungsi hati, antihipertensi  dan antihiperglisemik (Suda et al., 2003; Kobayashi et al. 2005). Kadar antosianin ubijalar tergantung pada intensitas warna ungu umbi (Ginting dan Utomo, 2011) dan dapat mencapai 200 mg/100 g bb (Woolfe, 1992) hingga 211-243 mg/100g bb pada ubijalar asal Peru (Cevallos-Casals dan Cisneros-Zevallos, 2002). Antosianin ubijalar juga bersifat lebih stabil terhadap panas dan radiasi ultraviolet (Suda et al. 2003).
Senyawa fenol utama pada ubijalar adalah asam klorogenat dan asam isokloregenat (Woolfe, 1992) yang  berperan terhadap aktivitas antioksidan ubijalar bersama-sama dengan antosianin (Oki et al., 2002). Kandungan fenol ubi jalar ungu 4,9-6,7 lebih tinggi dibandingkan ubijalar kuning dan putih (Yashimoto et al. 1999) serta 2,5-3,2 lebih tinggi daripada blueberry (Cevallos-Casals and Cisneros-Zevallos, 2004). Kandungan senyawa fenol ubijalar ungu asal Filipina dan Peru dilaporkan sebesar 50,1–362,8 mg dan 838-945 mg setara asam galat /100 g bb (Rumbaoa et al., 2009; Cevallos-Casals and Cisneros-Zevallos, 2002).

Tabel I. Kandungan gizi ubijalar segar berdasarkan warna daging umbi
Kandungan Gizi
Ubi Putih
Ubi Kuning
Ubi Ungu
Pati (%)
28,79
24,47
22, 64
Gula reduksi (%)
0,32
0,11
0,30
Lemak (%)
0,77
0,68
0,94
Protein (%)
0,89
0,49
0,77
Air (%)
62,24
68,78
70,46
Abu (%)
0,93
0,99
0,84
Serat (%)
2,79
2,79
3,00
Vitamin C (mg/100 g)
28,68
25,00
21,43
Vitamin A (SI)  a
60,00
9.000,00
-
Antosianin (mg/100 g)
-
-
110,51
Sumber: Suprapta (2003) dalam Arixs (2006);  a  Direktorat Gizi Depkes RI (1981).
              

PRODUK OLAHAN UBIJALAR
Diversifikasi pengolahan dengan bahan baku ubijalar dapat dilakukan melalui umbi segar,  pasta, maupun bahan antara (tepung dan pati) yang perlu diolah lebih lanjut menjadi produk makanan siap santap.
1. Produk Olahan dari Ubijalar Segar

Ubi Kukus/Goreng

Ubijalar putih, kuning, dan ungu memiliki kadar air relatif lebih rendah (keset) dan  tekstur lebih mempur dibandingkan ubijalar orange yang cenderung lembek dan berair (Ginting et al. 2008), sehingga sesuai untuk produk yang dikukus maupun digoreng. Namun untuk ubijalar ungu, ubi kukus lebih baik daripada ubi rebus karena sebagian antosianin akan hilang/larut di dalam air rebusan.
Keripik
Ubijalar dengan warna umbi menarik, tekstur keset dan mempur serta tidak berserat, sesuai untuk bahan baku keripik, seperti  varietas Antin 1 (putih sembur ungu). Irisan umbi direndam sekitar 10 menit dalam larutan soda kue untuk meningkatkan kerenyahannya. Penggorengan dengan vacuum frying pada suhu 135oC selama 10 menit dapat menghasilkan warna keripik yang lebih cerah dibandingkan dengan penggorengan biasa.
Stik Ubijalar       
Stik ubijalar yang mirip dengan stik kentang (French fries) menghendaki produk yang renyah bila digoreng, tidak mudah melempem dan rasanya gurih. Proses pembuatannya, meliputi pencucian umbi, pengupasan, perendaman dalam air, perajangan membentuk stik, blanching (perebusan 7,5-10 menit), penirisan, pemberian bumbu (garam, bawang putih, soda kue, air), penggorengan, dan penirisan minyak (Suprapto, 2004).  
Pasta Ubijalar
Pasta ubijalar adalah umbi kukus yang dihaluskan/digiling dan selanjutnya dapat diolah menjadi beragam produk makanan, diantaranya:
Jus Ubijalar
Jus ubijalar cukup dikenal di Filipina, Thailand, dan Jepang (Suda et al. 2003). Jus dibuat dengan cara mencampur pasta ubijalar  yang berwarna ungu kemerahan atau orange tua dengan air es, gula, dan asam sitrat. Untuk mendapatkan aroma buah-buahan, pasta dapat dicampur dengan buah yang berwarna ungu, seperti anggur atau kuning (jeruk dan nanas).
Saos dan Selai Ubijalar
Proporsi pasta ubijalar dalam pembuatan saos 60-100% dengan penambahan asam cuka dan pewarna makanan. Saos dari ubijalar berukuran kecil (tidak memiliki nilai jual), ternyata sama kualitasnya dengan yang berasal dari ubijalar berukuran besar (Ginting et al. 2007).  Ubijalar  ungu juga dapat digunakan untuk saos karena antosianin akan berubah warna menjadi merah pada kondisi asam (Suda et al. 2003).
Selai ubijalar  diolah dari campuran 50% pasta ubijalar dengan 50% bubur buah-buahan (Ginting et al. 2012a). Ubijalar ungu dapat dicampur dengan anggur atau buah naga merah, sementara yang dagingnya kuning dicampur dengan nanas dan yang orange dengan mangga.  Pektin komersial perlu ditambahkan agar tektur selai kokoh dan pH selai sebaiknya 3-3,5 agar terbentuk gel yang baik dan selai lebih awet disimpan.
Mie Ubijalar
Mie dari pasta ubijalar dapat mensubstitusi 40% terigu (Utomo dan Yulifianti, 2012),  lebih tinggi daripada tepung ubijalar (20%) (Ginting et al. 2006). Proses pengolahan mie, meliputi pencampuran pasta dengan telur, garam dan bumbu, dibuat adonan kemudian dicetak menggunakan gilingan mie. Selanjutnya direbus/dikukus sebentar untuk mendapatkan mie basah dan dikeringkan dengan oven untuk mendapatkan mie kering. Warna mie ubijalar cukup menarik, terutama yang berasal dari ubijalar orange dan ungu.
Es Krim Ubijalar
Pada pembuatan es krim, pasta ubijalar ungu (50%) dicampur dengan bahan pembuat es krim komersial, susu dan air sehingga terbentuk warna ungu alami. Selanjutnya dimasukkan ke dalam kemasan dan disimpan dalam freezer minimal 24 jam.
Kue Basah/Jajanan
Beragam kue basah/jajanan dapat diolah dari pasta ubijalar kuning, orange maupun ungu, diantaranya bakpao, kue mangkok, onde-onde, bolu gulung, puding, pukis, lumpur, terang bulan, waffel, muffin dan stik dengan tingkat substitusi terigu/tepung ketan 30-80% (Ginting et al. 2012a). Dengan warna menarik dan tekstur yang cenderung empuk, umumnya produk olahan ini cukup disukai.

2. Produk antara ubijalar dan produk olahannya
Tepung Ubijalar
Proses pengolahan tepung ubijalar, meliputi pencucian, pengupasan, pengirisan, perendaman dalam natriumbisulfit (0,2% b/b, 15 menit) untuk mencegah terbentuknya warna coklat/gelap, pencucian, pengeringan, penggilingan, pengayakan, pengemasan (Ginting et al., 2006).  Rendemen tepung ubijalar berkisar antara 18–30% (Antarlina dan Jusuf, 2001 dan tahan disimpan sampai 6 bulan. Untuk kue kering (cookies), jajanan basah dan cake, tepung ubijalar dapat mensubstitusi terigu 50-100% dan hanya  10% untuk roti tawar dan 20% untuk mie (Ginting et al. 2006; Ali dan Ayu, 2009). Pada pembuatan jenang, tepung ubijalar ungu dapat mensubstitusi 50% tepung ketan dan 15% bahan es krim komersial (Ginting et al. 2012a).
Kubus dan Granula Instan
Tahap pengolahan kubus instan, meliputi pengupasan umbi, pencucian, pemotongan berbentuk kubus kecil, pengukusan, pengeringan dan pengemasan. Granula instan dibuat dengan cara  menghaluskan umbi kukus, dicetak dengan gilingan daging dan dipotong-potong kecil lalu dikeringkan (Utomo dan Antarlina, 2002). Kubus dan granula instan dapat dikonsumsi setelah direndam dalam air dan dikukus kembali 10-15 menit. Kedua produk ini dapat disimpan sebagai cadangan makanan dan digiling menjadi tepung untuk substitusi terigu pada pembuatan roti manis dan donat  masing-masing 20% dan 25-40% (Ginting et al., 2006) dan 10% pada roti tawar (Utomo dan Antarlina, 2002) serta makanan pendamping ASI untuk balita.                        
Pati ubijalar
Industri pati ubijalar di Indonesia belum berkembang dibandingkan dengan Cina, Korea, Taiwan dan Jepang yang terutama digunakan untuk bahan baku suun.  Pati ubijalar dibuat melalui tahapan: pencucian umbi, pemarutan, perendaman dalam natriumbisulfit 0,1% (15 menit), pemerasan (2 kali), pengendapan, pencucian (2 kali), pengeringan, penggilingan dan pengayakan (100 mesh) dengan variasi rendemen 14,1-19,5% (Ginting et al., 2005). Pada pembuatan roti tawar dan roti manis, pati ubijalar dapat mensubstitusi terigu sampai 25% dan 40% (Ginting dan Suprapto, 2005), lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ubijalar (10%). 


VARIETAS UNGGUL UBIJALAR MENDUKUNG DIVERSIFIKASI PANGAN
Antara tahun 1998-2009, telah dilepas sekitar 14 varietas unggul ubijalar dengan warna daging umbi yang bervariasi dan potensi hasil yang terus meningkat dari tahun ke tahun (Tabel II). Sebagian besar varietas tersebut sesuai untuk tujuan konsumsi langsung (dikukus/digoreng) dengan rasa umbi yang enak, manis, dan tekstur remah (keset), diantaranya Cangkuang, Kidal, Sari, dan Boko. Varietas ubijalar Papua Solossa, dan Papua Pattipi dan Sawentar yang sesuai untuk dataran tinggi (> 750 m dpl), sangat disukai rasanya oleh petani di Papua.  Sebagian ubijalar kuning/orange cenderung memiliki tekstur lembek dan berair (Woolfe, 1992), sehingga kurang disukai untuk ubi kukus/goreng. Sebagai contoh varietas Cilembu yang berasal dari Kuningan, Jawa Barat memiliki  rasa enak/manis, namun tekstur agak lembek sehingga diolah dengan cara dioven. Pada saat pemanggangan, kandungan gula bertambah karena aktivitas hidrolisis pati oleh enzim a-amilase (suhu optimum 70-75oC) menjadi maltosa dan dekstrin (Losh et al., 1981).  
Varietas Beta 1 kaya akan beta karoten  (12.031 mg/100 g),  namun memiliki kadar air tinggi, tekstur umbi kukus lembek dan berasa manis (Ginting et al., 2008). Oleh karena itu, penggunaan pasta umbi kukusnya lebih sesuai untuk  bahan baku/campuran pada produk selai, mie, jus, bolu gulung, bakpao, dan kue mangkok (Ginting et al., 2012a). Varietas Beta 2 dengan warna umbi kukus kuning dan tekstur agak lembek, pastanya sesuai untuk diolah menjadi beragam kue basah/jajanan, seperti pukis, lumpur, bika, terang bulan, waffel, dan lain-lain dengan proporsi 50% menggantikan terigu. Selain itu, juga dapat digunakan sebagai campuran 50% selai nanas (Ginting et al., 2012a).
Varietas Sukuh dan Shiroyutaka (daging umbi putih) dan Jago (umbi kuning muda) (Tabel II) sesuai untuk bahan baku tepung dan pati karena kadar bahan keringnya tinggi. Penggunaan tepung ubijalar pada pembuatan kue kering (cookies) dan bolu (cake) dapat mensubstitusi 50-100% terigu (Ginting et al. 2006). Ayamurasaki  yang merupakan varietas introduksi ubijalar ungu dari Jepang dan telah banyak dibudidayakan petani di daerah Malang dan sekitarnya, mengandung antosianin 70,41 mg/100 g (Ginting et al., 2012b). Varietas Antin 1 yang daging umbinya putih sembur ungu (Tabel II), sesuai untuk bahan baku keripik dengan kadar antosianin 7,96  mg/100 g (Ginting et al., 2012b). Dua calon varietas unggul ubijalar ungu lainnya, yakni Antin 2 (klon RIS 03063-05) dan Antin 3 (klon MSU 03028-10)  siap dilepas  tahun 2013 dengan kadar antosianin 130,19 mg/100 g dan 150,67 mg/100 g (Jusuf et al., 2013). Pasta umbi kukus varietas Ayamurasaki dan Antin 2 memiliki warna ungu kemerahan, sehingga sesuai untuk diolah menjadi jus, mie, selai, es krim, es puter, beragam kue basah, seperti bakpao, kue mangkok, onde-onde, puding, bolu gulung, dan muffin dengan proporsi penggunaan 30-100% (Ginting et al. 2012a). Sementara Antin 3 dengan warna ungu tua sesuai untuk bahan baku tepung dan pewarna alami (Jusuf et al., 2013).

Tabel II. Varietas unggul ubijalar yang telah dirilis mulai tahun 1998-2013
Varietas
Warna daging
umbi
Tahun
dirilis
Potensi hasil
(t/ha)
Kegunaan
Sewu
Orange
1998
28,5-30
Konsumsi
Cangkuang
Kuning muda
1998
30-31
Konsumsi
Sukuh
Putih
2001
25-30
Industri (tepung dan pati)
Jago
Kuning muda
2001
25-30
Industri (tepung dan pati)
Kidal
Kuning tua
2001
25-30
Konsumsi
Sari
Kuning tua
2001
30-35
Konsumsi
Boko
Krem
2001
25-30
Konsumsi
Cilembu
Krem kemerahan/kuning
2001`
20
Konsumsi
Shiroyutaka
Putih
2003
25-30
Industri (tepung dan pati)
Papua Solossa
Kuning tua
2006
30
Konsumsi
Papua Pattipi
Kuning pucat
2006
32,5
Konsumsi
Sawentar
Krem
2006
30
Konsumsi
Beta-1
Orange tua
2009
35,7
Konsumsi
Beta-2
Orange
2009
34,7
Konsumsi
Antin-1
Putih sembur ungu
2013
33,2
Industri (keripik)
Antin-2  a
Ungu kemerahan
2013
37,1
Konsumsi
Antin-3  a
Ungu tua
2013
30,6
Industri (tepung dan pewarna)
Sumber: Balitkabi (2012);   a calon varietas (Jusuf et al., 2013).


PROSPEK USAHA PENGOLAHAN UBIJALAR
Sejauh ini, produk industri pengolahan ubijalar, terutama industri rumah tangga masih terbatas pada  keripik dan carang mas serta saos untuk  industri kecil-menengah. Oleh karena itu, informasi ketersediaan beragam produk olahan ubijalar perlu disosialisasikan kepada konsumen sebagai pengguna maupun pengrajin/industri sebagai produsen. Introduksi produk olahan ubijalar yang menarik penampilan dan citarasanya, bergizi, dan terjangkau harganya,  berpeluang untuk meningkatkan nilai tambah. Demikian pula promosi ubijalar sebagai pangan fungsional, akan meningkatkan citra sekaligus daya saing produknya di pasaran sejalan dengan meningkatnya kesadaran dan kebutuhan masyarakat akan pangan sehat dan aman.
Hal ini tampak pada outlet Bakpao Telo,  produsen  beragam produk ubijalar ungu, seperti keripik, es krim, bakpao, jus, kue mangkok, kue kering, pizza, bakpia, brownies, dan mie kering yang dijual dalam kemasan menarik dengan harga yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan produk olahan tradisional ubijalar. Dengan tagline health is our priority’,  perusahaan yang berada di perbatasan Malang dan Pasuruan ini, banyak dikunjungi oleh wisatawan dan tamu yang ingin melihat beragam olahan ubijalar.
Berkembangnya usaha pengolahan ubijalar akan merangsang petani untuk meningkatkan produksi ubijalar dengan mengadopsi varietas unggul berpotensi hasil tinggi (> 25 t/ha) dan teknik budidaya yang tepat.  Harga jual ubijalar ungu di pasaran yang hampir dua kali lipat harga ubijalar putih atau kuning/orange juga merupakan daya tarik tersendiri bagi petani karena pasar tersedia. Dukungan nyata kebijakan yang berpihak kepada industri berbahan baku pangan lokal dari hulu sampai hilir sangat diperlukan untuk pengembangan agroindustri berbasis ubijalar. Kelompok wanita tani (KWT), ibu-ibu PKK, dan pengrajin  dapat dilatih untuk menjadi produsen makanan dari ubijalar. Kebijakan pemerintah daerah untuk menyajikan makanan non-beras dan non-terigu pada setiap rapat dinas/kegiatan, penerapan program ’One day no rice’  yang mendapat apresiasi untuk kota Depok (Astono, 2013), bantuan modal dan peralatan  akan memacu pengembangan usaha pengolahan dan pemasaran produk yang dihasilkan oleh pengrajin lokal.

KESIMPULAN
Ubijalar yang kaya akan gizi dan kandungan bioaktifnya berkhasiat bagi kesehatan, potensial untuk diolah menjadi beragam produk pangan, baik dari umbi segar, pasta maupun tepung dan patinya dengan proporsi penggunaan 10-100%. Upaya ini berkontribusi besar dalam mendukung program diversifikasi pangan karena dapat mengurangi impor terigu, meningkatkan citra dan nilai tambah produk pangan lokal serta meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produksi ubijalar. Usaha pengolahan ubijalar cukup prospektif ditinjau dari ketersediaan varietas unggul untuk penyediaan bahan baku, teknologi pengolahan yang relatif sederhana dan dukungan kebijakan yang mendorong optimalisasi pemanfaatan bahan pangan lokal,  sosialisasi/pelatihan, bantuan modal dan peralatan serta fasilitas pemasaran.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. dan D.F. Ayu. 2009. Substitusi tepung terigu dengan tepung pati ubijalar (Ipomoea batatas L.)  pada pembuatan mie kering. Sagu 8(1):1-4.
Antarlina, S.S. dan M. Jusuf. 2001. Pengolahan tepung ubijalar beberapa varietas pada umur panen yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Alat dan Mesin Pertanian untuk Agribisnis. Badan Litbang Pertanian – PERTETA. Jakarta. hlm. 227-235.
Arixs. 2006. Mengenalkan olahan bahan pangan nonberas Bangli, Denpasar, Badung. http://www.tokoh.co.id/application.htm. (tanggal akses 14 April 2007).
Astono, B. 2013. Diversifikasi pangan: Gerakan dari kantin balaikota Depok. Kompas, 18 Nopember 2013.
Balitkabi. 2012. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. 185 hlm.
BPS. 2012. Statistik Indonesia 2012. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Cevallos-Casals, B.A. and L.A. Cisneros-Zevallos. 2002. Bioactive and functional properties of purple sweetpotato (Ipomoea batatas (L.) Lam). Acta Hort. 583:195-203.
Cevallos-Casals, BA and L.A. Cisneros-Zevallos. 2004. Stability of anthocyanin-based aqueous extract of Andean purple corn and red-fleshed sweet potato compared to synthetic and natural colorants. Food Chem. 86:69-77.
Direktorat Gizi Depkes RI. 1981. Daftar komposisi bahan makanan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
FAOSTAT. 2009. Statistical database of food balance sheet. www.fao.org. (accessed on 6 February 2013).
Gafar, S. 2010. Diversifikasi pangan berbasis tepung belajar dari pengelolaan kebijakan terigu. http://www.majalahpangan.com/2010/04/diversifikasi-pangan-berbasis-tepung-belajar-dari-pengelolaan-kebijakan-terigu (tanggal akses 3 Desember 2010).
Ginting, E. dan Suprapto. 2005. Pemanfaatan pati ubijalar sebagai substitusi terigu pada pembuatan roti manis. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pasca Panen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Bogor, 7-8 September 2005. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian. Bogor. hlm 86-97.
Ginting, E., Y. Widodo, S.A. Rahayuningsih dan M. Yusuf. 2005. Karakteristik pati beberapa varietas ubijalar. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 24 (1):9-18.
Ginting, E., S.S. Antarlina, J.S. Utomo dan Ratnaningsih. 2006. Teknologi pasca panen ubijalar mendukung diversifikasi pangan dan pengembangan agroindustri. Buletin Palawija (11):15-28.
Ginting, E., N. Prasetiaswati dan Y. Widodo. 2007. Ubijalar ukuran kecil untuk saos dan selai. Iptek Tanaman Pangan 2(1):110-122.
Ginting, E., J.S. Utomo, R. Yulifianti, dan M. Jusuf. 2011. Potensi ubijalar ungu sebagai pangan fungsional. Iptek Tanaman Pangan 6(1) :116-138.
Ginting, E. and J.S. Utomo. 2011. Anthocyanins and total phenolic contents of purple-fleshed sweet potato cultivars and their antioxidant activity. In B. Kusbiantoro, L.K. Darusman, S. Budianto and N. Bermawie (eds). Proceedings of the International Conference on Nutraceuticals and Functional Foods in Denpasar, Bali on 12-15 th October, 2010. Indonesian Centre for Rice Research, AARD. Jakarta. p.101-114.
Ginting, E., J.S. Utomo dan  R. Yulifianti. 2012a. Aneka produk olahan kacang dan umbi. Balai Penelitian Tanaman kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. 48 hlm.
Ginting, E. R. Yulifianti, Suprapto dan L. Kusumawati. 2012b. Identifikasi sifat fisik dan kimia klon-klon harapan ubijalar kaya antosianin dan kesesuaian pemanfaatannya untuk produk pangan. Laporan Teknis Penelitian No: 1807.019.001.013.3.6/DIPA/2012. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. 21 hlm.
Ginting, E. J.S. Utomo dan M. Jusuf. 2013. Identifikasi sifat fisik, kimia dan sensoris klon-klon harapan ubijalar kaya beta karoten. Dalam A.A. Rahmianna, E. Yusnawan, A. Taufia, Sholihin, Suharsono, T. Sundari, Hermanto (Ed). Peningkatan Daya Saing dan Implementasi Pengembangan Komoditas Kacang dan Umbi Mendukung Pencapaian Empat Sikses Pembangunan Pertanian. Prosiding Seminar Nasional Hasil penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi tahun 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. hlm 603-614.
Huang, Y.H, L. Tanudjaja and D. Lum. 1999. Content of alpha-, beta-carotene and dietary fibre in 18 sweetpotato varieties grown in Hawaii. J. Food  Comp. Anal. 12:147-151.
Hongmin, L., G. Xiaoding and M. Daifu. 1996. Orange-flesh sweetpotato, a potential source for b-karoten production. In E.t. Rasco and V.R. Amante (Eds). Selected Research Papers July 1995-June 1996. Vol. 2: Sweetpotato. ASPRAD. Manila, Philippines. p. 126-130.
Jusuf, M., St. A. Rahayuningsih, T.S. Wahyuni, E. Ginting, R. Yulifianti, J. Restuono dan G. Santoso. 2013. Proposal usulan pelepasan varietas ubijalar klon harapan RIS 03063-05 dan MSU 03028-10 calon varietas unggul ubijalar kaya antosianin. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Malang. 129 hlm.
Kobayashi, M., T. Oki, M. Masuda, S. Nagai, K. Fukui, K. Matsugano and I. Suda. 2005. Hypotensive effect of anthocyanin-rich extract from purple-fleshed sweet potato cultivar ‘Ayamurasaki’ in spontaneously hypertensive rats. J. Japanese Soc. Food Sci. Technol. 52:41-44.
Losh, J.M., J.A. Philips, J.M. Axelson and R.S. Schulman. 1981. Sweet potato quality after baking. J. Food Sci. 46:283-290.
Oki, S., M. Masuda, S. Furuta, Y. Nishiba, N. Terahara and I. Suda. 2002. Involvement of anthocyanins and other phenolic compounds in radical-scavenging activity of purple- fleshed sweet potato cultivars. J. Food Sci. 67 (5):1752-1756.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Penjelasan umum. Buletin Konsumsi Pangan 4(1):1-5.
Rumbaoa, R.G.O., D.F. Cornago and I.M. Geronimo. 2009. Phenolic content and antioxidant capacity of Philippine sweet potato (Ipomoea batatas) varieties. Food Chem. 113:1133-1138.
Steed, L.E., and Truong, V. 2008. Anthocyanin content, antioxidant activity and selected physical properties of flowable purple-fleshed sweetpotato purees. J. Food Sci. 73(5):S215-S221.
Suda, I., T. Oki, M. Masuda, M. Kobayashi, Y. Nishiba and S. Furuta. 2003. Physiological functionality of purple-fleshed sweet potatoes containing anthocyanins and their utilization in foods. JARQ 37(3):167-173.
Suprapto. 2004. Pengaruh lama blanching terhadap kualitas stik ubijalar (Ipomoea batats L.) dari tiga varietas. hlm. 220-228. Dalam D. Priyanto, H. Budiman, S. Askar, K. Barkah, P. Kushartono dan S. Sitompul (ed). Prosiding Temu teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2004. Bogor, 13 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor.
Teresia, A. 2013. Indonesia didesak kurangi impor gandum. http://www.tepmpo.co/read/news/2013/07/24/090499391/Indonesia-Didesak-Kurangi-Impor-Gandum (tanggal akses 18 Nopember 2013).
Utomo, J.S. dan S.S. Antarlina. 2002.  Tepung instan ubijalar untuk pembuatan roti tawar. Pangan (BULOG) 11(38):54-60.
Utomo, J.S. dan R. Yulifianti. 2012. Karakteristik mie berbahan baku terigu lokal dan ubijalar ungu. Dalam A. Widjono, Hermanto, N. Nugrahaeni, A.A. Rahmianna, Suharsono, F. Rozi, E. Ginting, A. Taufiq, A. Harsono, Y. Prayogo dan E. Yusnawan (Ed). Inovasi Teknologi dan Kajian Ekonomi Komoditas Aneka Kacang dan Umbi Mendukung Empat Sukses Kementerian Pertanian. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Tahun 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. hlm. 768-775.
van Jaarsveld, P.J., M. Faber, S.A. Tanumihardjo, P. Nestel, C.J. Lombard, and A.J.S. Benade. 2005. β-carotene-rich orange-fleshed sweet potato improves the vitamin A status of primary school children assessed with modified-relative-dose-response test. American J. Clinic. Nutr. 81:1080-1087.
Woolfe, J.A. 1992. Sweet potato an untapped food resource. Cambridge University Press. Cambridge.
Yamakawa, O and M. Yashimoto. 2002. Sweetpotato as food material with physiological functions. Acta Hort. 583:179-185.
Yashimoto, M., S. Okuna, M. Yoshinaga, O. Yamakawa, M. Yamaguchi and J. Yamada. 1999. Antimutagenicity of sweet potato (Ipomoae batatas) root. Biosci. Biotech. Biochem. 63:541-543.

No comments:

Post a Comment