Pengembangan Teknologi
Pangan Berbasis Koro-
Koroan
Sebagai Bahan Pangan Alternatif Pensubtitusi Kedelai
Nurud Diniyah, Wiwik Siti Windrati, Maryanto
Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Jember
Jl. Kalimantan
No. 37 Kampus Tegalboto Jember
e-mail
: mamorusan_82@yahoo.com
HP. 085259362305
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah melakukan karakterisasi berbagai koro-koroan (sifat fisik biji, komposisi kimia, sifat
fungsional bahan dan kandungan zat antigizi dan racun); dan mengembangkan
teknik penghilangan zat antigizi dan racun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koro-koroan mempunyai sifat fisik
sangat beragam. Berdasarkan komposisi kimia, kadar karbohidrat rata- rata
berkisar 56,51 - 74,62 %; pati (37,94
– 42,44 %), kadar serat (1,15 – 5,22 %) protein 19,93 - 30,96 %; kadar air 5,75
- 13,83%; kadar serat 1,15 – 6,93 %; kadar abu 3,18
- 3,93 % dan lemak
0,99 - 3,60 %. Kandungan zat antigizi seperti asam
fitat tertinggi berturut-turut adalah kratok putih 19,75 mg/g, kratok merah
13,63 mg/g, kratok hitam 12,5 mg/g, koro komak 10,87 mg/g, koro benguk 8,95
mg/g dan koro pedang 8,76 mg/g. Untuk kandungan HCN, paling tinggi adalah
kratok merah 26,22 mg/g; kratok putih
24,71 mg/g; koro benguk 20,86 mg/g; kratok hitam 19,69 mg/g; koro pedang 14,96
mg/g dan koro komak 1,05 mg/g.
Kata kunci : koro-koroan, sifat
fisik, kimia, dan antigizi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jumlah penduduk Indonesia yang
tinggi mencapai 237,6 juta jiwa pada tahun 2010 (BPS, 2010), bahkan
diperkirakan melonjak menjadi 400 juta jiwa pada 2035 (Husodo, 2003) menuntut
pemenuhan bahan pangan yang tinggi pula. Sampai saat ini Indonesia harus
menguras devisa untuk mengimpor bahan pangan guna memenuhi kebutuhan pangan
penduduk. Untuk
memenuhi kebutuhan protein nabati, pada tahun 2004 Indonesia harus mengimpor
kedelai dan produk olahannya sebesar 2,9 juta ton sehingga menguras devisa
negara sebesar 967 juta US dolar (9,2 triliyun rupiah) (Anonim, 2005). Oleh
karena itu, untuk mengurangi
ketergantungan pada impor dan meningkatkan ketahanan pangan Indonesia, maka
diperlukan upaya penggalian bahan pangan lokal sumber protein nabati.
Untuk itu Pemerintah bersama-sama
masyarakat tani yang terorganisir dan perguruan tinggi perlu merancang strategi
untuk mencapai swasembada pangan sehingga mampu mencukupi kebutuhan pangan
secara mandiri. Salah
satu sumber bahan pangan lokal yang kaya kandungan proteinnya adalah
koro-koroan. Koro-koroan banyak ditemui di lahan kering atau lahan marjinal.
Bentuk biji dan kandungan proteinya yang cukup tinggi berkisar 17 – 21%
(Subagio, dkk. 2004) membuat koro-koroan berpotensi untuk dijadikan bahan
pensubstitusi kedelai.
Karakterisasi nilai gizi dan
kadar zat antigizi koro-koroan perlu dianalisis untuk menentukan potensinya
sebagai bahan pangan. Untuk mengurangi kadar antigizi, beberapa teknik
pengolahan seperti pemanasan bertekanan, perkecambahan, dan perendaman dapat
mengurangi kandungan anti tripsin, tanin dan HCN pada bahan.
Pengembangan koro-koroan sebagai sumber
pangan lokal yang potensial perlu dilakukan dalam rangka menopang kebutuhan
pangan masyarakat dan meningkatkan ketersediaan pangan khususnya wilayah Jawa
Timur. Terlebih bahan pangan sumber protein, yang terbukti memberi konstribusi
sangat besar bagi pemenuhan gizi masyarakat. Keberhasilan
penelitian tentang substitusi kedelai dengan koro-koroan ini akan mengurangi
tingkat konsumsi dan kebutuhan kedelai sehingga menopang program riset unggulan
Universitas Jember tentang ‘swasembada kedelai’.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk mengkarakterisasi berbagai
jenis koro-koroan, sehingga dapat diketahui potensinya sebagai bahan pangan
sumber protein, yang meliputi: sifat fisik biji, komposisi kimia bahan, kandungan
zat antigizi dan racun; untuk mengembangkan teknik penghilangan zat antigizi
dan racun agar koro-koroann dapat digunakan sebagai bahan pangan sumber
perotein.
Manfaat Penelitian
Adapun
manfaat yang dapat diraih dari hasil penelitian ini adalah mendorong pengembangan protein-based
food dari koro-koroan yang tersedia di masing-masing wilayah, sehingga
dapat menunjang usaha pemenuhan protein bagi masyarakat, meningkatkan nilai
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Urgensi Penelitian
Sampai saat
ini kecukupan protein masyarakat Indonesia pada umumnya masih rendah. Hal ini dikarenakan
pangan sumber protein hewani relatif masih mahal. Untuk itu perlu digali sumber protein lain seperti
koro-koroan. Tanaman koro-koroan seperti komak, kratok, koro benguk, koro
pedang, kapri, kacang gude dan kacang cipir, merupakan anggota dari tanaman
polong-polongan. Tanaman ini mempunyai keunggulan, yaitu mudah dibudidayakan
dan produktivitas biji keringnya cukup tinggi (Robert, 1985; Balitkabi, 2003).
Dengan demikian, budidayanya dapat dilakukan pada lahan-lahan marjinal yang
selama ini kurang diperhatikan potensinya.
Ditinjau dari kandungan
proteinnya, pemanfaatan protein koro-koroan lokal sebagai bahan pangan
mempunyai harapan. Biji koro-koroan mengandung protein cukup tinggi, yaitu
sekitar 18 – 25 %. Sedangkan kandungan lemaknya sangat rendah, yaitu antara 0,2
– 3 % dan kandungan karbohidratnya relatif tinggi yaitu 50 – 60 % (Van der
Maesen dan Somaatmadja, 1993). Kandungan proteinnya yang tinggi, keseimbangan
asam aminonya baik dan bio-availabilitas yang tinggi menjadikan protein
koro-koroan berpotensi sebagai alternatif pengganti protein hewani.
Namun demikian, telah diketahui
bahwa dalam koro-koroan terdapat beberapa jenis senyawa antigizi yang meliputi:
tripsin inhibitor, hemaglutinin, asam fitat dan sianida. Dengan demikian,
pemanfaatan koro-koroan sebagai bahan pangan harus memperhatikan keberadaan
senyawa-senyawa tersebut. Berdasarkan alasan tersebut, perlu adanya usaha eksplorasi koro-koroan
sebagai bahan pangan sumber protein dengan menggembangkan paket teknologi
pengolahan yang dapat mendorong keunggulannya dan mengeliminir kekurangannya,
sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan masyarakat, meningkatkan nilai
ekonomi koro-koroan dan kesejahteraan masyarakat.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan beberapa tahapan, dimana setiap tahapan merupakan tindak lanjut dari
tahapan sebelumnya, yang meliputi:
1.
Tahap I: karakterisasi
koro-koroan dari berbagai spesies yang ada. Karakterisasi ini meliputi sifat
fisik biji, komposisi kimia, dan kandungan senyawa anti gizi serta racun. Data ini sangat diperlukan sebagai
pijakan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan dalam
teknologi pengolahannya
Pada tahap ini difokuskan pada
pengkajian sifat-sifat khas dari koro-koroan. Adapun parameter yang diamati meliputi:
a) Sifat fisik biji
koro-koroan. Dengan mengetahui sifat ini, maka dapat dilakukan identifikasi
jenis koro-koroan yang ada dan
untuk mengoptimalkan hasil pengolahan diperlukan data detail tentang sifat
fisik biji koro-koroan. Untuk itu, beberapa sifat fisik koro-koroan yang dikaji meliputi: warna dengan
colour reader (Minolta CR-100), bentuk secara visual (Mohsenin, 1980) dan
ukuran (panjang dan
lebar) menggunakan
Vernier calliper, berat (menggunakan neraca digital), tebal kulit (menggunakan micrometer
screw gauge) dan BDD (berat yang dapat dimakan) (menggunakan neraca
digital).
b) Komposisi kimiawi dari
biji koro-koroan. Untuk
mengetahui potensi koro-koroan sebagai bahan pangan, komposisi kimiawinya
sangat penting untuk diketahui. Komposisi kimiawi yang diamati meliputi: kadar
air (metode gravimetri,
AOAC 1999), kadar abu (metode gravimetri, AOAC 1999), kadar lemak, metode ekstraksi (AOAC, 1999), protein total, metode
Kjeldahl( AOAC, 1999), dan karbohidrat (metode by different), pati dan serat (Sudarmadji, dkk 1999).
2. Tahap II: kajian teknik penghilangan antigizi dan racun.
Tahap ini dimaksudkan untuk mengetahui jenis dan kadar antigizi serta racun
yang berada pada spesies koro-koroan, sehingga akan diketahui langkah apa yang
harus dilakukan untuk mengeliminir sifat negatif koro-koroan agar dapat
digunakan sebagai bahan pangan sumber protein. Antigizi dan racun yang akan
diamati meliputi:
a)
HCN (Sudarmadji
dkk, 1984).
b)
Kandungan Asam Fitat dengan metode pengendapan sebagai garam Fe (Davies and
Reid,1979)
3.
Tahap III: teknik penghilangan antigizi dan
racun
Setelah diketahui jenis, kadar antigizi dan racunnya, maka
dilakukan penghilangan zat-zat tersebut dengan beberapa cara berikut ini:
a) Perendaman: pada
teknik ini akan dilakukan penelitian tentang lama perendaman terhadap kandungan
senyawa antigizi dan racun.
b) Pemanasan: pada
teknik ini akan dilakukan penelitian tentang pengaruh jenis pemanasan yang
digunakan yaitu perebusan, dan perebusan bertekanan pada kandungan senyawa antigizi dan racun.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisik Koro-koroan
Hasil pengamatan karakteristik fisik biji koro yang
meliputi berat 100biji, panjang, lebar dan tebal biji serta BDD dari
beberapa jenis koro terlihat pada Tabel I.
Tabel I. Sifat Fisik Biji Koro
Jenis Koro
|
Berat 100 Biji (g)
|
Panjang Biji (cm)
|
Lebar Biji (cm)
|
Tebal Biji (cm)
|
BDD (%)
|
Kratok Merah
|
43,72
|
1,40
|
0,95
|
0,48
|
92,45
|
Kratok Putih
|
38,33
|
1,25
|
0,92
|
0,51
|
93,15
|
Kratok Hitam
|
33,79
|
1,38
|
0,90
|
0,43
|
92,11
|
Koro Benguk
|
90,21
|
1,66
|
1,15
|
0,70
|
83,58
|
Koro Pedang
|
137,25
|
1,92
|
1,33
|
0,87
|
82,75
|
Koro Komak
|
27,55
|
1,01
|
0,77
|
0,51
|
84,95
|
Berdasarkan Tabel I terlihat
bahwa koro-koroan mempunyai sifat fisik (berat, panjang, lebar dan tebal) yang
sangat beragam. Koro komak (Lab lab.purpureus (L)Sweet) yang juga dikenal sebagai koro wedus merupakan koro dengan
ukuran terkecil bila dibandingkan dengan jenis koro yang lain, dengan ciri
penampakan fisik yaitu berat per 100 biji sebesar 27,55 g, panjang biji rata-rata
1,01 cm, lebar biji 0,77 cm dan ketebalan biji 0,51 cm.
Koro kratok (Phaseolus lunatus
(L) Sweet) baik varietas merah, putih, maupun hitam mempunyai ukuran yang
hampir sama dengan ukuran biji lebih besar dibandingkan dengan koro komak. Koro
kratok mempunyai ciri-ciri fisik yaitu berat per 100 biji rata-rata sebesar 43,72
g untuk kratok merah, 38,33 g untuk kratok putih dan 33,79 g untuk kratok
hitam. Panjang biji dan lebar biji hampir sama yaitu sekitar 1,25 – 1,40 cm
untuk panjang dan 0,90 – 0,95 cm untuk lebar biji.
Koro benguk (Mucuma pruriens) dan koro pedang (Cannavalia ensiformis) merupakan koro dengan ukuran biji yang cukup
besar, hal ini dapat dilihat berat 100 biji untuk koro benguk sebesar 90,21 g, panjang
biji 1,66 cm dan lebar 1,15 cm serta ketebalan biji 0,70 cm, sedangkan koro
pedang merupakan koro dengan ukuran biji yang paling besar dibandingkan dengan
jenis koro-koroan yang lain, yaitu rata-rata
berat 100 biji sebesar 137,25 g, panjang biji 1,92 cm dan lebar biji
1,33 cm serta rata-rata tebal biji sebesar 0,87 cm.
Dilihat dari BDD koro-koroan
mempunyai nilai BDD yang cukup tinggi yaitu berkisar 82,75 - 93,15 %, koro
kratok baik kratok merah, kratok putih maupun kratok hitam mempunyai nilai BDD
yang lebih tinggi dibandingkan dengan koro benguk, koro pedang maupun koro
komak. Diantara ke enam jenis koro-koroan tersebut, koro pedang mempunyai nilai
BDD yang paling rendah yaitu sebesar 82,75%, hal ini menunjukkan bahwa diantara
ke enam jenis koro tersebut, koro pedang mempunyai ketebalan kulit yang paling
tinggi.
Warna merupakan salah satu sifat fisik dari
obyek. Menurut Matthews (1989), sifat
fisik warna merupakan sifat yang berasal dari senyawa non protein yang
berinteraksi dengan protein. Analisis
terhadap warna meliputi tingkat kecerahan (L), warna (a* dan b*), intensitas warna (c). Hasil pengamatan warna dari beberapa jenis biji
koro-koroan dapat dilihat pada Tabel II.
Tabel II. Nilai L, a, b, c dari Biji beberapa Jenis Koro-koroan
Jenis koro
|
Nilai L
|
Nilai a*
|
Nilai b*
|
Nilai c
|
Kratok
Merah
|
61,37
|
7,64
|
1.91
|
7,88
|
Kratok
Putih
|
78,11
|
2,36
|
6,43
|
6,85
|
Kratok Hitam
|
58,10
|
-2,67
|
-3,82
|
3,83
|
Koro Benguk
|
73,41
|
1,68
|
5,00
|
5,27
|
Koro Pedang
|
81,33
|
1,22
|
3,71
|
3,90
|
Koro Komak
|
73,74
|
3,04
|
8,26
|
8,80
|
Berdasarkan Tabel II terlihat
bahwa berdasarkan nilai kecerahan (L), koro pedang mempunyai kecerahan yang
paling tinggi (L=81,33), kemudian kratok putih (L=78,11), koro komak (L=73,74),
koro benguk (L=73,11), kratok merah (L= 61,37) dan kecerahan yang paling rendah
adalah kratok hitam dengan nilai L = 58,10. Semakin rendah nilai L menunjukkan
semakin ke arah hitam. Dari data diatas dapat diketahui bahwa koro komak
mempunyai intensitas warna yang paling tinggi (c =8,80) dibandingkan dengan
jenis koro-koroan yang lain. Berdasarkan nilai a*, menunjukkan bahwa warna biji
kratok merah adalah warna merah karena nilai a* positif. Nilai pembacaan color
reader memberikan nilai a* = 7,64 lebih tinggi dibandingkan jenis koro yang
lain. Nilai a* pada kratok hitam menunjukkan nilai negatif, hal ini menunjukkan
semakin ke arah hitam. Sedangkan koro komak, koro pedang dan kratok putih
memberikan warna yang hampir sama yaitu berwarna kuning kearah putih.
Karakteristik Kimiawi Koro-koroan
Karakteristik kimia yang diamati meliputi karbohidrat, protein, lemak, kadar
air, dan kadar abu. Komposisi kimia koro-koroan seperti
terlihat pada Tabel
III.
Tabel III.
Komposisi Kimia beberapa Jenis koro-Koroan
Sifat
kimia
|
Kratok
merah
|
Kratok
putih
|
Kratok
hitam
|
Koro
benguk
|
Koro
pedang
|
Koro
komak
|
Kadar
air (%)
|
13,37
|
13,83
|
11,58
|
6,94
|
5,75
|
9,14
|
Kadar abu (%)
|
3,61
|
3,61
|
3,46
|
3,27
|
3,18
|
3,93
|
Lemak (%)
|
1,07
|
1,21
|
0,99
|
3,53
|
3,60
|
1,15
|
Protein (%)
|
21,40
|
19,93
|
20,93
|
29,29
|
30,96
|
26,71
|
Karbohidrat (%)
|
60,55
|
61,42
|
74,62
|
56,77
|
56,51
|
68,21
|
Pati (%)
|
41,48
|
42,16
|
39,0
|
42,44
|
37,94
|
38,39
|
Serat (%)
|
5,22
|
4,20
|
5,50
|
1,43
|
1,15
|
6,93
|
Dilihat dari komposisi kimianya,
karbohidrat mempunyai kandungan yang paling tinggi yaitu rata- rata berkisar
antara 56,51 - 74,62% disusul pati, protein, kadar air, serat, kadar abu, dan lemak
dengan nilai berturut-turut 37,94 –
42,44%, 19,93 - 30,96%, 5,75 - 13,83%, 1,15 – 5,50%, 3,18 - 3,93 %, dan 0,99 -
3,60%. Kandungan karbohidrat yang cukup
tinggi membuat koro-koroan cukup menjanjikan untuk digunakan sebagai sumber
makanan pokok, demikian juga bila dilihat dari kandungan proteinnya koro-koroan
dapat digunakan sebagai sumber protein nabati
yang cukup murah. Kandungan lemak yang sangat sedikit memungkinkan
orang-orang yang menghindari lemak dapat mengkomsumsinya, selain itu juga dapat
digunakan sebagai sumber lemak tidak jenuh.
Kandungan karbohidrat kratok
hitam paling tinggi ( 74,62 %) jika dibandingkan dengan jenis koro-koroan yang
lain, sedangkan kandungan karbohidrat yang paling rendah (56,51 %) adalah koro
pedang. Namun untuk kandungan protein koro pedang mempunyai kandungan protein
yang paling tinggi (30,96 %), sedangkan kandungan protein yang paling rendah
adalah kratok putih (19,93 %).
Kandungan Senyawa Antigizi pada Koro-Koroan
Di dalam biji koro-koroan terdapat
beberapa jenis senyawa antigizi dan racun antara lain asam fitat dan sianida. Adapun kadar asam fitat dan
sianida biji koro-koroan dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Kadar Asam Fitat
berbagai Jenis Biji Koro-Koroan
Dari
Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar asam fitat tertinggi yaitu pada kratok putih (19,75
mg/g). Sedangkan terendah yaitu pada koro pedang (8,76 mg/g). Fitat merupakan
suatu senyawa yang tidak larut sehingga sangat sukar dicerna dan tidak dapat
dimanfaatkan oleh tubuh. Asam fitat mempunyai sifat sebagai chelating agent
terutama terhadap ion-ion bervalensi dua seperti Ca, Fe dan Zn (Graf, 1983)
mengakibatkan ketersediaan biologik mineral-mineral tersebut rendah oleh karena
itu perlu dilakukan perlakuan penghilangan asam fitat pada koro.
Gambar 2. Kadar Sianida berbagai
Jenis Biji Koro-Koroan
Gambar
2 menunjukkan bahwa kadar sianida tertinggi yaitu pada kratok merah (26,22
mg/g), sedangkan terendah yaitu pada koro komak (1,05 mg/g). Senyawa atau
faktor antigizi yang ditemukan pada koro adalah sianida daam bentuk sianogenik
glukosida. Umumnya sianida yang dihasilkan oleh bahan nabati tersebut
bervariasi antara 10-800 mg per 100 g bahan. Dan umumnya aktivitas senyawa ini
dapat dihilangkan atau dikurangi melalui proses pemanasan (Yuniastuti, 2007).
Penghilangan Senyawa
Antigizi dan Zat
Racun pada Koro-Koroan
Umumnya aktivitas senyawa antogizi ini dapat dikurangi atau dihilangkan melalui proses
pemanasan. Hasil pengamatan pengurangan asam sianida dan asam fitat pada koro-koroan dengan beberapa metode seperti
terlihat pada Tabel IV dan Tabel V.
Tabel IV.
Kandungan Asam Sianida (HCN) dari Beberapa Jenis Koro-koroan Dalam Berbagai
Perlakuan
Perlakuan
|
Kratok Merah (mg/g)
|
Kratok Putih (mg/g)
|
Kratok Hitam (mg/g)
|
Koro Benguk (mg/g)
|
Koro Pedang (mg/g)
|
Koro Komak (mg/g)
|
Biji Segar (kontrol)
|
26,22
|
24,71
|
19,69
|
20,86
|
14,96
|
1,05
|
Rendam 1 malam
|
16,39
|
17,02
|
12,40
|
14,79
|
12,96
|
0,65
|
Rendam 2 malam
|
10,48
|
6,34
|
7,78
|
7,91
|
7,44
|
0,39
|
Rendam 1 malam
dan direbus 30 menit
|
4,18
|
2,79
|
4,92
|
3,80
|
2,86
|
0,20
|
Rendam 2 malam
dan rebus 30 menit
|
1,88
|
0,92
|
1,22
|
1,13
|
1,36
|
0,07
|
Rendam 1 malam
dan presto 10 menit
|
1,62
|
1,05
|
1,15
|
1,98
|
1,24
|
0,05
|
Rendam 2 malam
dan presto 10 menit
|
0,53
|
0,24
|
0,56
|
0,92
|
0,34
|
Nd
|
Berdasarkan Tabel IV terlihat
bahwa perlakuan perendaman, pemanasan dapat mengurangi kandungan HCN yang ada pada koro-koroan. Pada umumnya pengolahan koro diawali dengan
perendaman untuk menghilangkan sianidanya setelah
perendaman biasanya diikuti dengan pemasakan. Adanya kombinasi perlakuan pengurangan atau
penghilangan kandungan HCN pada koro menunjukkan penurunan yang semakin besar.
Perlakuan perendaman 2 hari dan presto 10 menit menunjukkan penurunan kandungan
HCN yang paling besar. Semakin lama waktu perendaman dan pemanasan dapat
menurunkan kandungan HCN.
Tabel V. Kandungan Asam Fitat dari Beberapa Jenis
Koro-koroan Dalam Berbagai Perlakuan
Perlakuan
|
Kratok Merah (mg/g)
|
Kratok Putih (mg/g)
|
Kratok Hitam (mg/g)
|
Koro Benguk (mg/g)
|
Koro Pedang (mg/g)
|
Koro Komak (mg/g)
|
Biji Segar (kontrol)
|
12,5
|
19,75
|
13,63
|
8,95
|
8,76
|
10,87
|
Rendam 1 malam
|
11,72
|
11,16
|
10,90
|
7,35
|
3,10
|
7,80
|
Rendam 2 malam
|
6,50
|
9,12
|
8,86
|
6,06
|
2,17
|
6,06
|
Rendam 1 malam dan rebus 30 menit
|
5,35
|
4,7
|
6,0
|
4,85
|
1,75
|
5,52
|
Rendam 2 malam dan rebus 30 menit
|
1,82
|
2,35
|
2,04
|
2,06
|
1,31
|
2,35
|
Rendam 1 malam dan presto 10 menit
|
1,04
|
1,18
|
1,36
|
1,78
|
0,88
|
1,09
|
Rendam 2 malam dan presto 10 menit
|
0,90
|
1,05
|
0,96
|
1,06
|
0,75
|
0,89
|
Seperti halnya pada kacang-kacangan dan
juga serealia, koro-koroan juga mengandung asam fitat. Asam fitat merupakan senyawa antigizi
karena didalam tubuh dapat membentuk ikatan komplek dengan Fe atau mineral yang
lain seperti Zn, Mg, dan Ca menjadi bentuk
yang tidak larut dan sulit diabsorsi tubuh (Graf, 1983). Berdasarkan Tabel V terlihat bahwa kandungan
asam fitat berkurang dengan adanya perlakuan perendaman dan
pemanasan. Semakin lama waktu perendaman dan pemanasan maka semakin besar
penurunan kandungan asam fitat.
KESIMPULAN
1. Biji koro-koroan mempunyai sifat fisik yang
sangat beragam, dengan ciri penampakan fisik yaitu berat per 100 biji berkisar
antara 27,55 – 137,25 g, panjang biji 1,01 – 1,92 cm, lebar biji 0,77 – 1,33
cm, tebal biji 0,48 – 0,87 cm, BDD biji koro-koroan yaitu rata-rata berkisar
82,75 - 93,15 %. Sedangkan nilai L
berkisar 58,10 – 81,33, a* -2,67 – 7,64, b* -3,82 – 8,26 dan nilai c 3,83 –
8,80. Dilihat dari komposisi kimianya
karbohidrat merupakan kandungan
kimia yang paling tinggi yaitu rata-
rata berkisar antara 56,51 - 74,62% disusul pati (37,94 – 42,44 %), protein
(19,93 - 30,96 %), kadar air (5,75 - 13,83 %), kadar serat (1,15 – 5,22 %), kadar
abu ( 3,18 - 3,93 %) dan lemak (0,99 -
3,60 %).
2. Senyawa antigizi pada koro-koroan yaitu asam fitat berkisar 8,76 – 19,75
mg/g dan kandungan HCN berkisar 1,05 – 26,22 (mg/g).
3. Perlakuan
perendaman dan pemanasan dapat mengurangi kandungan asam fitat
dan
HCN yang ada pada
koro-koroan.
UCAPAN
TERIMA KASIH
Terima
kasih kami ucapkan kepada Lembaga Penelitian Universitas Jember atas bantuan
dana Penelitian ini melalui Program Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi BOPTN
Universitas Jember tahun 2013.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (2005): Ekspor Impor Tanaman Pangan Tahun
2004. http://agribisnis.deptan.go.id/eksim/2004/exim_tp04.htm. 23 Mei
2005.
AOAC (1999): Official Methods of Analisis of The Association
Official Analitycal Chemistry.
Virginia: Arlington.
BPS (2010): Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id. (diakses pada tanggal 28
Juli 2010)
Davies, N.T and
H. Reid (1979). An Evaluation of Phytate, Zinc, Copper, Iron and Manganase
Contents of and Zn Availability From Soya Based Tectured – Vegetable – Protein
Meat – Subtitutes or Meat Extenders. Br. J. Nutr. 41 : 579 – 589.
Graf, E (1983): Phytic acid a natural antioxidant. J. Biol. Chem. 262(24)
: 11647-11650.
Husodo, S.Y
(2003): Kemandirian di Bidang Pangan
Kebutuhan Negara Kita, Jurnal Eknomi Rakyat II (6).
Mohsenin, N. N.
(1980): Physical Properties of Plant and Animal Materials. Gordon and
Breach Science Publisher. New York-London-Paris.
Robert, E. A.
(1985): Grain Legumes Crops. Collin, London.
Subagio, A., Windrati, W.
S. and Witono, Y (2004): Development of
Functional Proteins From Some Local Non-Oilseed Legumes as Food Additives.
Paper presented on Indonesian Toray Science Foundation (ITSF) Seminar.
Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhardi (1984): Prosedur Analisa untuk
Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Van der Maesen
dan Somaatmadja, S (1993): Prosea
Sumber Daya Nabati Asia Tenggara I, Penerbit Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Yuniastuti, A (2008). Gizi dan Kesehatan. Graha Ilmu. Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment