Translate

Ad

Thursday, July 2, 2020

Full Paper: PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PANGAN BERBASIS KORO-KOROAN SEBAGAI BAHAN PANGAN ALTERNATIF PENSUBTITUSI KEDELAI


Pengembangan Teknologi Pangan Berbasis Koro-
Koroan Sebagai Bahan Pangan Alternatif Pensubtitusi Kedelai

Nurud Diniyah, Wiwik Siti Windrati, Maryanto
Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember
Jl. Kalimantan No. 37 Kampus Tegalboto Jember
e-mail :  mamorusan_82@yahoo.com
HP. 085259362305

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah melakukan karakterisasi berbagai koro-koroan (sifat fisik biji, komposisi kimia, sifat fungsional bahan dan kandungan zat antigizi dan racun); dan mengembangkan teknik penghilangan zat antigizi dan racun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koro-koroan mempunyai sifat fisik sangat beragam. Berdasarkan komposisi kimia, kadar karbohidrat rata- rata berkisar  56,51 - 74,62 %; pati (37,94 – 42,44 %), kadar serat (1,15 – 5,22 %) protein 19,93 - 30,96 %; kadar air 5,75 - 13,83%; kadar serat 1,15 – 6,93 %; kadar abu 3,18 - 3,93 %  dan lemak 0,99 - 3,60 %. Kandungan zat antigizi seperti asam fitat tertinggi berturut-turut adalah kratok putih 19,75 mg/g, kratok merah 13,63 mg/g, kratok hitam 12,5 mg/g, koro komak 10,87 mg/g, koro benguk 8,95 mg/g dan koro pedang 8,76 mg/g. Untuk kandungan HCN, paling tinggi adalah kratok merah 26,22 mg/g;  kratok putih 24,71 mg/g; koro benguk 20,86 mg/g; kratok hitam 19,69 mg/g; koro pedang 14,96 mg/g dan koro komak 1,05 mg/g.

Kata kunci : koro-koroan, sifat fisik, kimia, dan antigizi

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Jumlah penduduk Indonesia yang tinggi mencapai 237,6 juta jiwa pada tahun 2010 (BPS, 2010), bahkan diperkirakan melonjak menjadi 400 juta jiwa pada 2035 (Husodo, 2003) menuntut pemenuhan bahan pangan yang tinggi pula. Sampai saat ini Indonesia harus menguras devisa untuk mengimpor bahan pangan guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Untuk memenuhi kebutuhan protein nabati, pada tahun 2004 Indonesia harus mengimpor kedelai dan produk olahannya sebesar 2,9 juta ton sehingga menguras devisa negara sebesar 967 juta US dolar (9,2 triliyun rupiah) (Anonim, 2005). Oleh karena itu, untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan ketahanan pangan Indonesia, maka diperlukan upaya penggalian bahan pangan lokal sumber protein nabati.
Untuk itu Pemerintah bersama-sama masyarakat tani yang terorganisir dan perguruan tinggi perlu merancang strategi untuk mencapai swasembada pangan sehingga mampu mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri. Salah satu sumber bahan pangan lokal yang kaya kandungan proteinnya adalah koro-koroan. Koro-koroan banyak ditemui di lahan kering atau lahan marjinal. Bentuk biji dan kandungan proteinya yang cukup tinggi berkisar 17 – 21% (Subagio, dkk. 2004) membuat koro-koroan berpotensi untuk dijadikan bahan pensubstitusi kedelai.
                Karakterisasi nilai gizi dan kadar zat antigizi koro-koroan perlu dianalisis untuk menentukan potensinya sebagai bahan pangan. Untuk mengurangi kadar antigizi, beberapa teknik pengolahan seperti pemanasan bertekanan, perkecambahan, dan perendaman dapat mengurangi kandungan anti tripsin, tanin dan HCN pada bahan.
                Pengembangan koro-koroan sebagai sumber pangan lokal yang potensial perlu dilakukan dalam rangka menopang kebutuhan pangan masyarakat dan meningkatkan ketersediaan pangan khususnya wilayah Jawa Timur. Terlebih bahan pangan sumber protein, yang terbukti memberi konstribusi sangat besar bagi pemenuhan gizi masyarakat. Keberhasilan penelitian tentang substitusi kedelai dengan koro-koroan ini akan mengurangi tingkat konsumsi dan kebutuhan kedelai sehingga menopang program riset unggulan Universitas Jember tentang ‘swasembada kedelai’.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk mengkarakterisasi berbagai jenis koro-koroan, sehingga dapat diketahui potensinya sebagai bahan pangan sumber protein, yang meliputi: sifat fisik biji, komposisi kimia bahan, kandungan zat antigizi dan racun; untuk mengembangkan teknik penghilangan zat antigizi dan racun agar koro-koroann dapat digunakan sebagai bahan pangan sumber perotein.

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diraih dari hasil penelitian ini adalah mendorong pengembangan protein-based food dari koro-koroan yang tersedia di masing-masing wilayah, sehingga dapat menunjang usaha pemenuhan protein bagi masyarakat, meningkatkan nilai ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Urgensi Penelitian
Sampai saat ini kecukupan protein masyarakat Indonesia pada umumnya masih rendah. Hal ini dikarenakan pangan sumber protein hewani relatif masih mahal. Untuk itu perlu digali sumber protein lain seperti koro-koroan. Tanaman koro-koroan seperti komak, kratok, koro benguk, koro pedang, kapri, kacang gude dan kacang cipir, merupakan anggota dari tanaman polong-polongan. Tanaman ini mempunyai keunggulan, yaitu mudah dibudidayakan dan produktivitas biji keringnya cukup tinggi (Robert, 1985; Balitkabi, 2003). Dengan demikian, budidayanya dapat dilakukan pada lahan-lahan marjinal yang selama ini kurang diperhatikan potensinya.
Ditinjau dari kandungan proteinnya, pemanfaatan protein koro-koroan lokal sebagai bahan pangan mempunyai harapan. Biji koro-koroan mengandung protein cukup tinggi, yaitu sekitar 18 – 25 %. Sedangkan kandungan lemaknya sangat rendah, yaitu antara 0,2 – 3 % dan kandungan karbohidratnya relatif tinggi yaitu 50 – 60 % (Van der Maesen dan Somaatmadja, 1993). Kandungan proteinnya yang tinggi, keseimbangan asam aminonya baik dan bio-availabilitas yang tinggi menjadikan protein koro-koroan berpotensi sebagai alternatif pengganti protein hewani.
Namun demikian, telah diketahui bahwa dalam koro-koroan terdapat beberapa jenis senyawa antigizi yang meliputi: tripsin inhibitor, hemaglutinin, asam fitat dan sianida. Dengan demikian, pemanfaatan koro-koroan sebagai bahan pangan harus memperhatikan keberadaan senyawa-senyawa tersebut. Berdasarkan alasan tersebut, perlu adanya usaha eksplorasi koro-koroan sebagai bahan pangan sumber protein dengan menggembangkan paket teknologi pengolahan yang dapat mendorong keunggulannya dan mengeliminir kekurangannya, sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan masyarakat, meningkatkan nilai ekonomi koro-koroan dan kesejahteraan masyarakat.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan beberapa tahapan, dimana setiap tahapan merupakan tindak lanjut dari tahapan sebelumnya, yang meliputi:
1.     Tahap I: karakterisasi koro-koroan dari berbagai spesies yang ada. Karakterisasi ini meliputi sifat fisik biji, komposisi kimia, dan kandungan senyawa anti gizi serta racun. Data ini sangat diperlukan sebagai pijakan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan dalam teknologi pengolahannya
Pada tahap ini difokuskan pada pengkajian sifat-sifat khas dari koro-koroan. Adapun parameter yang diamati meliputi:
a)       Sifat fisik biji koro-koroan. Dengan mengetahui sifat ini, maka dapat dilakukan identifikasi jenis koro-koroan yang ada dan untuk mengoptimalkan hasil pengolahan diperlukan data detail tentang sifat fisik biji koro-koroan. Untuk itu, beberapa sifat fisik koro-koroan yang dikaji meliputi: warna dengan colour reader (Minolta CR-100), bentuk secara visual (Mohsenin, 1980) dan ukuran (panjang dan lebar) menggunakan Vernier calliper, berat (menggunakan neraca digital), tebal kulit (menggunakan micrometer screw gauge) dan BDD (berat yang dapat dimakan) (menggunakan neraca digital).
b)       Komposisi kimiawi dari biji koro-koroan. Untuk mengetahui potensi koro-koroan sebagai bahan pangan, komposisi kimiawinya sangat penting untuk diketahui. Komposisi kimiawi yang diamati meliputi: kadar air (metode gravimetri, AOAC 1999), kadar abu (metode gravimetri, AOAC 1999), kadar lemak, metode ekstraksi (AOAC, 1999),  protein total, metode Kjeldahl( AOAC, 1999), dan karbohidrat (metode by different), pati dan serat (Sudarmadji, dkk 1999).
2.     Tahap II: kajian teknik penghilangan antigizi dan racun. Tahap ini dimaksudkan untuk mengetahui jenis dan kadar antigizi serta racun yang berada pada spesies koro-koroan, sehingga akan diketahui langkah apa yang harus dilakukan untuk mengeliminir sifat negatif koro-koroan agar dapat digunakan sebagai bahan pangan sumber protein. Antigizi dan racun yang akan diamati meliputi:
a)       HCN (Sudarmadji dkk, 1984).
b)       Kandungan Asam Fitat dengan metode pengendapan sebagai garam Fe (Davies and Reid,1979)


3.     Tahap III: teknik penghilangan antigizi dan racun
Setelah diketahui jenis, kadar antigizi dan racunnya, maka dilakukan penghilangan zat-zat tersebut dengan beberapa cara berikut ini:
a)       Perendaman: pada teknik ini akan dilakukan penelitian tentang lama perendaman terhadap kandungan senyawa antigizi dan racun.
b)       Pemanasan: pada teknik ini akan dilakukan penelitian tentang pengaruh jenis pemanasan yang digunakan yaitu perebusan, dan perebusan bertekanan pada kandungan senyawa antigizi dan racun.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Fisik Koro-koroan
                Hasil pengamatan karakteristik fisik biji koro yang meliputi berat 100biji, panjang, lebar dan tebal biji serta BDD dari beberapa jenis koro terlihat pada Tabel I.

Tabel I. Sifat Fisik Biji Koro

Jenis Koro
Berat 100 Biji (g)
Panjang Biji (cm)
Lebar Biji (cm)
Tebal Biji (cm)
BDD (%)
Kratok Merah
43,72
1,40
0,95
0,48
92,45
Kratok Putih
38,33
1,25
0,92
0,51
93,15
Kratok Hitam
33,79
1,38
0,90
0,43
92,11
Koro Benguk
90,21
1,66
1,15
0,70
83,58
Koro Pedang
137,25
1,92
1,33
0,87
82,75
Koro Komak
27,55
1,01
0,77
0,51
84,95

Berdasarkan Tabel I terlihat bahwa koro-koroan mempunyai sifat fisik (berat, panjang, lebar dan tebal) yang sangat beragam. Koro komak (Lab lab.purpureus (L)Sweet) yang juga dikenal sebagai koro wedus merupakan koro dengan ukuran terkecil bila dibandingkan dengan jenis koro yang lain, dengan ciri penampakan fisik yaitu berat per 100 biji sebesar 27,55 g, panjang biji rata-rata 1,01 cm, lebar biji 0,77 cm dan ketebalan biji 0,51 cm.
Koro kratok (Phaseolus lunatus (L) Sweet) baik varietas merah, putih, maupun hitam mempunyai ukuran yang hampir sama dengan ukuran biji lebih besar dibandingkan dengan koro komak. Koro kratok mempunyai ciri-ciri fisik yaitu berat per 100 biji rata-rata sebesar 43,72 g untuk kratok merah, 38,33 g untuk kratok putih dan 33,79 g untuk kratok hitam. Panjang biji dan lebar biji hampir sama yaitu sekitar 1,25 – 1,40 cm untuk panjang dan 0,90 – 0,95 cm untuk lebar biji.
Koro benguk (Mucuma pruriens) dan koro pedang (Cannavalia ensiformis) merupakan koro dengan ukuran biji yang cukup besar, hal ini dapat dilihat berat 100 biji untuk koro benguk sebesar 90,21 g, panjang biji 1,66 cm dan lebar 1,15 cm serta ketebalan biji 0,70 cm, sedangkan koro pedang merupakan koro dengan ukuran biji yang paling besar dibandingkan dengan jenis koro-koroan yang lain, yaitu rata-rata  berat 100 biji sebesar 137,25 g, panjang biji 1,92 cm dan lebar biji 1,33 cm serta rata-rata tebal biji sebesar 0,87 cm.
Dilihat dari BDD koro-koroan mempunyai nilai BDD yang cukup tinggi yaitu berkisar 82,75 - 93,15 %, koro kratok baik kratok merah, kratok putih maupun kratok hitam mempunyai nilai BDD yang lebih tinggi dibandingkan dengan koro benguk, koro pedang maupun koro komak. Diantara ke enam jenis koro-koroan tersebut, koro pedang mempunyai nilai BDD yang paling rendah yaitu sebesar 82,75%, hal ini menunjukkan bahwa diantara ke enam jenis koro tersebut, koro pedang mempunyai ketebalan kulit yang paling tinggi.
Warna merupakan salah satu sifat fisik dari obyek. Menurut Matthews (1989), sifat fisik warna merupakan sifat yang berasal dari senyawa non protein yang berinteraksi dengan protein. Analisis terhadap warna meliputi tingkat kecerahan (L), warna (a* dan b*), intensitas warna (c). Hasil pengamatan warna dari beberapa jenis biji koro-koroan dapat dilihat pada Tabel II.








Tabel II. Nilai L, a, b, c dari Biji beberapa Jenis Koro-koroan

Jenis koro
Nilai L
Nilai a*
Nilai b*
Nilai c
Kratok Merah
61,37
7,64
1.91
7,88
Kratok Putih
78,11
2,36
6,43
6,85
Kratok Hitam
58,10
-2,67
-3,82
3,83
Koro Benguk
73,41
1,68
5,00
5,27
Koro Pedang
81,33
1,22
3,71
3,90
Koro Komak
73,74
3,04
8,26
8,80

Berdasarkan Tabel II terlihat bahwa berdasarkan nilai kecerahan (L), koro pedang mempunyai kecerahan yang paling tinggi (L=81,33), kemudian kratok putih (L=78,11), koro komak (L=73,74), koro benguk (L=73,11), kratok merah (L= 61,37) dan kecerahan yang paling rendah adalah kratok hitam dengan nilai L = 58,10. Semakin rendah nilai L menunjukkan semakin ke arah hitam. Dari data diatas dapat diketahui bahwa koro komak mempunyai intensitas warna yang paling tinggi (c =8,80) dibandingkan dengan jenis koro-koroan yang lain. Berdasarkan nilai a*, menunjukkan bahwa warna biji kratok merah adalah warna merah karena nilai a* positif. Nilai pembacaan color reader memberikan nilai a* = 7,64 lebih tinggi dibandingkan jenis koro yang lain. Nilai a* pada kratok hitam menunjukkan nilai negatif, hal ini menunjukkan semakin ke arah hitam. Sedangkan koro komak, koro pedang dan kratok putih memberikan warna yang hampir sama yaitu berwarna kuning kearah putih.

Karakteristik Kimiawi Koro-koroan
Karakteristik kimia yang diamati meliputi karbohidrat, protein, lemak, kadar air, dan kadar abu. Komposisi kimia koro-koroan seperti terlihat pada Tabel III.

Tabel III. Komposisi Kimia beberapa Jenis koro-Koroan

Sifat kimia
Kratok merah
Kratok putih
Kratok hitam
Koro benguk
Koro pedang
Koro komak
Kadar air (%)
13,37
13,83
11,58
6,94
5,75
9,14
Kadar abu (%)
3,61
3,61
3,46
3,27
3,18
3,93
Lemak (%)
1,07
1,21
0,99
3,53
3,60
1,15
Protein (%)
21,40
19,93
20,93
29,29
30,96
26,71
Karbohidrat (%)
60,55
61,42
74,62
56,77
56,51
68,21
Pati (%)
41,48
42,16
39,0
42,44
37,94
38,39
Serat (%)
5,22
4,20
5,50
1,43
1,15
6,93

Dilihat dari komposisi kimianya, karbohidrat mempunyai kandungan yang paling tinggi yaitu rata- rata berkisar antara 56,51 - 74,62% disusul pati, protein, kadar air, serat, kadar abu, dan lemak  dengan nilai berturut-turut 37,94 – 42,44%, 19,93 - 30,96%, 5,75 - 13,83%, 1,15 – 5,50%, 3,18 - 3,93 %, dan 0,99 - 3,60%. Kandungan karbohidrat  yang cukup tinggi membuat koro-koroan cukup menjanjikan untuk digunakan sebagai sumber makanan pokok, demikian juga bila dilihat dari kandungan proteinnya koro-koroan dapat digunakan sebagai sumber protein nabati  yang cukup murah. Kandungan lemak yang sangat sedikit memungkinkan orang-orang yang menghindari lemak dapat mengkomsumsinya, selain itu juga dapat digunakan sebagai sumber lemak tidak jenuh.
Kandungan karbohidrat kratok hitam paling tinggi ( 74,62 %) jika dibandingkan dengan jenis koro-koroan yang lain, sedangkan kandungan karbohidrat yang paling rendah (56,51 %) adalah koro pedang. Namun untuk kandungan protein koro pedang mempunyai kandungan protein yang paling tinggi (30,96 %), sedangkan kandungan protein yang paling rendah adalah kratok putih (19,93 %).

Kandungan Senyawa Antigizi pada Koro-Koroan
             Di dalam biji koro-koroan terdapat beberapa jenis senyawa antigizi dan racun antara lain asam fitat dan sianida. Adapun kadar asam fitat dan sianida biji koro-koroan dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.


Gambar 1. Kadar Asam Fitat berbagai Jenis Biji Koro-Koroan

             Dari Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar asam fitat tertinggi yaitu pada kratok putih (19,75 mg/g). Sedangkan terendah yaitu pada koro pedang (8,76 mg/g). Fitat merupakan suatu senyawa yang tidak larut sehingga sangat sukar dicerna dan tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Asam fitat mempunyai sifat sebagai chelating agent terutama terhadap ion-ion bervalensi dua seperti Ca, Fe dan Zn (Graf, 1983) mengakibatkan ketersediaan biologik mineral-mineral tersebut rendah oleh karena itu perlu dilakukan perlakuan penghilangan asam fitat pada koro.



Gambar 2. Kadar Sianida berbagai Jenis Biji Koro-Koroan


             Gambar 2 menunjukkan bahwa kadar sianida tertinggi yaitu pada kratok merah (26,22 mg/g), sedangkan terendah yaitu pada koro komak (1,05 mg/g). Senyawa atau faktor antigizi yang ditemukan pada koro adalah sianida daam bentuk sianogenik glukosida. Umumnya sianida yang dihasilkan oleh bahan nabati tersebut bervariasi antara 10-800 mg per 100 g bahan. Dan umumnya aktivitas senyawa ini dapat dihilangkan atau dikurangi melalui proses pemanasan (Yuniastuti, 2007). 

Penghilangan Senyawa Antigizi dan Zat Racun pada Koro-Koroan
Umumnya aktivitas senyawa antogizi ini dapat dikurangi atau dihilangkan melalui proses pemanasan. Hasil pengamatan pengurangan asam sianida dan asam fitat pada koro-koroan dengan beberapa metode seperti terlihat pada Tabel IV dan Tabel V.

Tabel IV. Kandungan Asam Sianida (HCN) dari Beberapa Jenis Koro-koroan Dalam Berbagai Perlakuan

Perlakuan
Kratok Merah (mg/g)
Kratok Putih (mg/g)
Kratok Hitam (mg/g)
Koro Benguk (mg/g)
Koro Pedang (mg/g)
Koro Komak (mg/g)
Biji Segar (kontrol)
26,22
24,71
19,69
20,86
14,96
1,05
Rendam 1 malam
16,39
17,02
12,40
14,79
12,96
0,65
Rendam 2 malam
10,48
6,34
7,78
7,91
7,44
0,39
Rendam 1 malam dan direbus 30 menit
4,18
2,79
4,92
3,80
2,86
0,20
Rendam 2 malam dan rebus 30 menit
1,88
0,92
1,22
1,13
1,36
0,07
Rendam 1 malam dan presto 10 menit
1,62
1,05
1,15
1,98
1,24
0,05
Rendam 2 malam dan presto 10 menit
0,53
0,24
0,56
0,92
0,34
Nd

Berdasarkan Tabel IV terlihat bahwa perlakuan perendaman, pemanasan dapat mengurangi kandungan HCN   yang ada pada koro-koroan. Pada umumnya pengolahan koro diawali dengan perendaman untuk menghilangkan sianidanya setelah perendaman biasanya diikuti dengan pemasakan. Adanya kombinasi perlakuan pengurangan atau penghilangan kandungan HCN pada koro menunjukkan penurunan yang semakin besar. Perlakuan perendaman 2 hari dan presto 10 menit menunjukkan penurunan kandungan HCN yang paling besar. Semakin lama waktu perendaman dan pemanasan dapat menurunkan kandungan HCN.

Tabel V. Kandungan Asam Fitat dari Beberapa Jenis Koro-koroan Dalam Berbagai Perlakuan

Perlakuan
Kratok Merah (mg/g)
Kratok Putih (mg/g)
Kratok Hitam (mg/g)
Koro Benguk (mg/g)
Koro Pedang (mg/g)
Koro Komak (mg/g)
Biji Segar (kontrol)
12,5
19,75
13,63
8,95
8,76
10,87
Rendam 1 malam
11,72
11,16
10,90
7,35
3,10
7,80
Rendam 2 malam
6,50
9,12
8,86
6,06
2,17
6,06
Rendam 1 malam dan rebus 30 menit
5,35
4,7
6,0
4,85
1,75
5,52
Rendam 2 malam dan rebus 30 menit
1,82
2,35
2,04
2,06
1,31
2,35
Rendam 1 malam dan presto 10 menit
1,04
1,18
1,36
1,78
0,88
1,09
Rendam 2 malam dan presto 10 menit
0,90
1,05
0,96
1,06
0,75
0,89

Seperti halnya pada kacang-kacangan dan juga serealia, koro-koroan juga mengandung asam fitat. Asam fitat merupakan senyawa antigizi karena didalam tubuh dapat membentuk ikatan komplek dengan Fe atau mineral yang lain seperti Zn, Mg, dan Ca menjadi bentuk yang tidak larut dan sulit diabsorsi tubuh (Graf, 1983). Berdasarkan Tabel V terlihat bahwa kandungan asam fitat berkurang dengan adanya perlakuan perendaman dan pemanasan. Semakin lama waktu perendaman dan pemanasan maka semakin besar penurunan kandungan asam fitat.

KESIMPULAN

1.     Biji koro-koroan mempunyai sifat fisik yang sangat beragam, dengan ciri penampakan fisik yaitu berat per 100 biji berkisar antara 27,55 – 137,25 g, panjang biji 1,01 – 1,92 cm, lebar biji 0,77 – 1,33 cm, tebal biji 0,48 – 0,87 cm, BDD biji koro-koroan yaitu rata-rata berkisar 82,75  - 93,15 %. Sedangkan nilai L berkisar 58,10 – 81,33, a* -2,67 – 7,64, b* -3,82 – 8,26 dan nilai c 3,83 – 8,80. Dilihat dari komposisi kimianya  karbohidrat merupakan  kandungan kimia  yang paling tinggi yaitu rata- rata berkisar antara 56,51 - 74,62% disusul pati (37,94 – 42,44 %), protein (19,93 - 30,96 %), kadar air (5,75 - 13,83 %), kadar serat (1,15 – 5,22 %), kadar abu ( 3,18  - 3,93 %) dan lemak (0,99 - 3,60 %).
2.     Senyawa antigizi pada koro-koroan yaitu asam fitat berkisar 8,76 – 19,75 mg/g dan kandungan HCN berkisar 1,05 – 26,22 (mg/g).
3.     Perlakuan perendaman dan pemanasan dapat mengurangi kandungan asam fitat dan HCN  yang ada pada koro-koroan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami ucapkan kepada Lembaga Penelitian Universitas Jember atas bantuan dana Penelitian ini melalui Program Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi BOPTN Universitas Jember tahun 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (2005): Ekspor Impor Tanaman Pangan Tahun 2004. http://agribisnis.deptan.go.id/eksim/2004/exim_tp04.htm. 23 Mei 2005.
AOAC (1999): Official Methods of Analisis of The Association Official Analitycal Chemistry. Virginia: Arlington.
BPS (2010): Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id. (diakses pada tanggal 28 Juli 2010)
Davies, N.T and H. Reid (1979). An Evaluation of Phytate, Zinc, Copper, Iron and Manganase Contents of and Zn Availability From Soya Based Tectured – Vegetable – Protein Meat – Subtitutes or Meat Extenders. Br. J. Nutr. 41 : 579 – 589.
Graf, E (1983): Phytic acid a natural antioxidant. J. Biol. Chem. 262(24) : 11647-11650.
Husodo, S.Y (2003): Kemandirian di Bidang Pangan Kebutuhan Negara Kita, Jurnal Eknomi Rakyat II (6).
Mohsenin, N. N. (1980): Physical Properties of Plant and Animal Materials. Gordon and Breach Science Publisher. New York-London-Paris.
Robert, E. A. (1985): Grain Legumes Crops. Collin, London.
Subagio, A., Windrati, W. S. and Witono, Y (2004): Development of Functional Proteins From Some Local Non-Oilseed Legumes as Food Additives. Paper presented on Indonesian Toray Science Foundation (ITSF) Seminar.
Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhardi (1984): Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Van der Maesen dan Somaatmadja, S (1993): Prosea Sumber Daya Nabati Asia Tenggara I, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yuniastuti, A (2008). Gizi dan Kesehatan. Graha Ilmu. Yogyakarta.







No comments:

Post a Comment