Aktivitas
Antimikroba Angkak dan Salpeter terhadap Bakteri
Eschericia
coli dan Staphylococcus aureus
dengan Metode Difusi Agar
Lilis Sulandari dan Lucia Tri Pangesthi
Jurusan PKK Fakultas Teknik Universitas Negeri
Surabaya, Jl. Ketintang Surabaya
E-mail: lissofyan.unesa@gmail.com
Abstrak
Aktivitas
antimikroba angkak dan salpeter dengan metode kontak telah dianalisis. Angkak
adalah beras berwarna merah yang difermentasi dengan kapang (Monascus purpureus). Saltpeter atau sendawa yang dimaksud
adalah kalium nitrat. Angkak dan salpeter digunakan sebagai bahan kuring dalam
pembuatan kornet, dengan variasi penggunaan, yaitu: angkak 1%, salpeter 100ppm,
salpeter 200ppm, kombinasi angkak 1% dan
salpeter 100ppm, serta kombinasi angkak 1% dan salpeter 200ppm. Bakteri uji yang digunakan adalah
bakteri gram negatif Eschericia coli (E. coli) dan bakteri gram positif Staphylococcus aureus (S.aureus). Aktivitas penghambatan ditentukan dengan nilai radius zona terang (clear zone)
dengan satuan mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: angkak 1 % belum mampu
memberikan penghambatan terhadap bakteri E.
coli dan S. Aureus. Kombinasi angkak dan salpeter yang paling efektif dalam
menghambat pertumbuhan mikroba pangan (E.
coli dan S.aureus) adalah angkak
1% dan salpeter 200ppm. Angkak dan salpeter lebih efektif menghambat
pertumbuhan S. Aureus. dibadingkan
dengan E. coli.
Kata kunci:
Angkak, salpeter, antimikroba, difusi agar, E.
coli dan S. aureus
Pendahuluan
Angkak (bahasa Indonesia) atau red fermeneted rice, juga dikenal di Cina sebagai hung-chu atau hong-qu. Sementara di Jepang dikenal sebagai beni-koji atau red-koji, dan di Eropa dikenal sebagai rotschimmelreis atau red mould. Angkak adalah hasil
fermentasi beras dengan menggunakan kapang merah. Secara tradisi masyarakat
Cina dan Asia Timur lainnya menggunakan angkak sebagai bahan tambahan makanan
maupun sebagai bahan pengobatan tradisional (Tisnadjaja, 2006). Gambar beras
angkak dapat dilihat pada Gambar 1.
Beras angkak |
Gambar 1. Beras Angkak
Penggunaan angkak oleh
masyarakat Cina dan Asia lainnya sebagai bahan tambahan makanan lebih
diutamakan pada proses pengolahan ikan dan daging. Dalam hal ini, angkak dapat
berperan ganda, selain berfungsi sebagai pewarna, juga berfungai sebagai
pembangkit rasa dan peningkat daya simpan (pengawet) (Tisnadjaja, 2006; Suharso, 2008). Di Cina, Taiwan, Jepang,
Filipina dan Thailand angkak telah digunakan sebagai pewarna makanan dan
minuman, seperti bagoong makanan
tradisional Filipina berupa awetan ikan dan Nham
sosis babi fermentasi dari Thailand. Angkak sebagai pewarna alami memiliki
sifat stabil pada proses pemasakan suhu tinggi, dapat bercampur dengan pigmen
warna lain, serta tidak beracun.
Kemampuan angkak dalam
meningkatkan cita rasa makanan dimungkinkan terkait dengan kandungan oligopeptidanya.
Senyawa oligopeptida kemungkinan dihasilkan selama proses fermentasi melalui
proses hidrolisis sebagian kandungan protein dalam beras oleh enzim-enzim
protease yang disekresikan oleh kapang Monascus. Daging yang mengandung angkak
terasa lebih enak dibandingkan yang diolah tanpa penambahan angkak.
Fungsi
preservatif atau pengawet dari angkak dimungkinkan dengan adanya kandungan
senyawa monascidin A yang
bersifat sebagai penghambat pertumbuhan
bakteri dari genus Bacillus,
Streptococcus dan Pseudomonas.
Selain monascidin A, dua pigmen
kuning monascin dan ankaflavin juga mampu menghambat pertumbuhan Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus. Angkak
terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen (penyebab penyakit) dan
bakteri perusak berspora, seperti Bacillus
cereus dan Bacillus
stearothermophilus (Tisnadjaja, 2006; Suharso, 2008).
Angkak mempunyai potensi seperti
yang dimiliki oleh senyawa nitrit atau nitrat yang digunakan dalam proses
kuring daging, sehingga angkak dapat digunakan untuk mengurangi jumlah nitrit yang
digunakan. Menurut Soeparno (2005) kuring adalah prosesing
daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam NaCl, Na-nitrit dan atau
Na-nitrat dan gula, serta bumbu-bumbu.
Maksud kuring antara lain untuk mendapatkan warna yang stabil, aroma,
tekstur dan kelezatan yang baik, mengurangi pengerutan daging selama prosesing
serta memperpanjang masa simpan produk daging.
Nitrit dapat bereaksi dengan
komponen amin dari protein bahan pangan membentuk nitrosamin, yaitu suatu zat
karsinogenik. Karena itu, penggunaan nitrit pada makanan dibatasi. Batasan maksimum penggunaan nitrit dalam proses kuring
pada daging adalah 125 ppm. Menurut Astawan (2004) pemakaian
garam kuring sendawa
(kalium nitrat, natrium nitrat)
tanpa dicampur dengan jenis garam kuring lainnya berkisar antara 200-500 mg/Kg
daging. Pada pemakaian sendawa yang dicampur dengan nitrit, maka jumlahnya secara
maksimum 125 mg/Kg daging (125 ppm) dan
dihitung sebagai natrium nitrit atau kalium nitrit.
Penggunaan senyawa nitrit atau nitrat (disebut juga
sendawa atau salpeter) belum bisa
tergantikan oleh zat aditif lainnya untuk membentuk
karakter khas pada produk daging kornet. Namun jumlah penggunaanya telah dapat
dikurangi dengan beras angkak yang ditambahkan dalam pembuatan olahan daging. Angkak sudah digunakan sebagai subsitusi saltpeter pada
pembuatan sosis. Hasilnya terbukti efek salpeter dapat dikurangi hingga mencapai 60% tanpa ada perubahan nyata
pada sifat organoleptiknya (Tisnadjaja, 2006). Pigmen warna angkak sudah dimanfaatkan sebagai substitusi nitrit pada
pengolahan daging kuring dalam bentuk sosis dan ham dengan formulasi nitrit 80
ppm dan pigmen angkak 2,5 /kg daging (Fardiaz, 2008). Penggunaan
nitrit digantikan angkak telah dilakukan pada pembuatan sosis babi fermentasi
makanan tradisional Thailand (Nham) (Rojsuntornkitti, dkk, 2010). Penelitian
penggunaan angkak dan salpeter sebagai bahan kuring dalam pembuatan kornet
telah dilakukan oleh Pangesthi dan Sulandari (2012). Penelitian pengujian
aktivitas antimikroba dan antifungi dari angkak telah dilakukan Ungurenu dan
Ferdes (2010). Namun penelitian untuk
mengetahui aktivitas antimikroba kombinasi angkak-salpeter sebagai garam kuring
alternatif secara intensif
belum dilakukan.
Antimikroba adalah senyawa biologis
atau kimia yang dapat mengganggu pertumbuhan dan aktivitas mikroba, khususnya
mikroba perusak dan pembusuk makanan (Astawan, 2004). Ardiansyah (2007)1 menyebutkan komponen antimikroba adalah suatu komponen yang bersifat dapat
menghambat pertumbuhan bakteri atau kapang (bakteristatik atau fungistatik)
atau membunuh bakteri atau kapang (bakterisidal atau fungisidal). Keefektifan
penghambatan merupakan salah satu kriteria pemilihan suatu senyawa antimikroba
untuk diaplikasikan sebagai bahan pengawet bahan pangan. Semakin kuat
penghambatannya semakin efektif digunakan. Kerusakan yang ditimbulkan
komponen antimikroba dapat bersifat mikrosidal (kerusakan tetap) atau
mikrostatik (kerusakan sementara yang dapat kembali). Suatu komponen akan
bersifat mikrosidal atau mikrostatik tergantung pada konsentrasi dan kultur
yang digunakan (Ardiansyah,
2007)2.
Efek bakteriostatik angkak menunjukkan bahwa angkak lebih efektif digunakan
untuk menghambat bakteri gram positif dibanding dengan gram negatif
(Tisnadjana, 2006)
Pengujian
aktivitas antimikroba dapat menggunakan metode difusi agar. Aktivitas penghambatan pada
metode difusi agar ditunjukkan
dengan areal bening (clear zone) di
sekeliling lubang setelah diinkubasi selama 24 jam. Zona penghambatan
ditentukan dengan mengukur diameter atau radius
zona terang (clear zone) yang
terbentuk menggunakan penggaris (milimeter). Tidak adanya aktivitas penghambatan
ditunjukkan dengan tidak terbentuknya areal bening (clear zone) di sekeliling lubang, tampak buram (Zuhud, dkk,
2001).
Matari
dan Metode
Pembiakan Inokulum Monascus purpureus
Sebelum pembiakan disiapkan dahulu media Potato Dextrose Broth (PDB). PDB 38,8g dicampur dengan aquades 1620ml, diaduk rata.
Larutan PDB disterilisasi dengan autoclave selama 15 menit. PDB siap untuk diinokulasi
(ditanami inokulum).
Kegiatan inokulasi dimulai dengan
ampul Monascus purpureus tipe 6008 disemprot dengan alkohol 70%. 2. Ampul dikikir hingga kaca patah.Inokulum dari ampul diambil dengan kawat ose yang
sudah dipanaskan atau metode aseptis. Inokulum dimasukkan pada media PDB dalam tabung reaksi. Inokulum dalam
media PDB disimpan dalam biological septic cabinet selama 7 hari. Pada tabung
akan terlihat kultur berwarna kemerahan, siap digunakan untuk produksi beras
angkak.
Pembuatan Beras
Angkak
Prosedur pembuatan angkan adalah
sebagai berikut: Beras IR 64 dibersihkan dari
kotoran dan direndam selama 24 jam kemudian ditiriskan.Beras dimasukkan dalam
botol bersih (± 100 g) dengan menyisakan ¼ bagian ruang kosong seagai tempat
oksigen.Botol ditutup dengan kertas roti dan disterilisasi
selama 2 jam. Kultur Monascus purpureus dimasukkan
ke dalam botol yang telah diisi beras sebanyak 5% (ml/g), diaduk
hingga tercampur rata. Botol ditutup kembali
dengan kertas roti. Beras dengan kultur Monascus purpureus diinkubasi
pada suhu 27-28oC selama 14 hari. Beras angkak dapat dipanen. Beras angkak diletakkan pada
loyang dan dikeringkan dengan oven pada suhu 45oC selama 1
minggu. Beras angkak digiling dan diayak hingga
menghasilkan bubuk tepung angkak yang halus. Angkak bubuk yang halus siap digunakan.
Uji
Aktivitas Antimikroba Angkak-Salpeter
Metode Difusi Agar
Sterilisasi Alat
dan Bahan
Cawan petri, tabung
reaksi, erlenmeyer, penjepit, spatula, Media Agar
NA, Media Nutrien Broth, dan seluruh alat dan bahan (kecuali ekstrak angkak)
yang akan digunakan disterilisasi di dalam autoclave
selama 30 menit dengan mengatur tekanan sebesar 15 dyne/cm3 (1 atm) dan suhu
sebesar 121 oC setelah sebelumnya dicuci bersih, dikeringkan dan
dibungkus dengan kertas.
Pembuatan
Stok Suspensi Bakteri
Pembuatan suspensi
bakteri dilakukan untuk perbanyakan stok. Stok disiapkan dengan cara
menginokulasikan 1 ose biakan murni ke dalam 50 ml Nutrient Broth (NB). Stok
kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam di dalam
inkubator.
Tahap
Pengujian
Antimikroba
Cawan petri diisi media
NA sebanyak kurang lebih 19 ml diberi suspensi bakteri sebanyak 2 ml (5 x 105
cfu/ ml), selanjutnya dibuat beberapa sumur pada agar dengan diameter 5 mm.
Pada tiap – tiap sumur ditetesi 50 µl larutan angkak-salpeter. Tiap- tiap
sampel dibuat secara duplo dan diulang 3 kali. Setelah ditetesi dengan larutan
angka-salpeter, cawan diinkubasi pada suhu 4oC selama 2 jam agar
terjadi pre-difusi. Selanjutnya cawan diinkubasi pada suhu 37 oC selama
24 jam dan setelah waktu inkubasi kemudian diukur diameter/radius zona terang (clear
zone) dengan menggunakan penggaris (milimeter).
Hasil
dan Pembahasan
Pengujian aktivitas antimikroba
angkak-salpeter dilakukan dengan menggunakan metode difusi agar. Aktivitas penghambatan
angkak-salpeter terhadap bakteri uji,
ditunjukkan dengan terbentuknya zona terang (clear zone) di sekeliling lubang setelah diinkubasi selama 24 jam.
Zona penghambatan ditentukan dengan mengukur radius zona terang (clear zone)
yang terbentuk menggunakan penggaris (milimeter). Tidak adanya aktivitas
penghambatan ditunjukkan dengan tidak terbentuknya zona terang (clear zone) di sekeliling lubang, dan tampak
buram. Zona penghambatan angka-salpeter pada kedua bakteri uji dapat dilihat
pada Gambar 2.
zona penghambatan angkak pada bakteri |
Gambar
2. Zona penghambatan angkak dan salpeter pada bakteri E. coli dan S. aureus
Hasil penelitian
menujukkan bahwa rata-rata radius zone penghambatan angkak-salpeter terhadap E.
coli berkisar antara 0.01-0,64mm. Nilai radius penghambatan terendah
terhadap E. coli ditunjukkan oleh
penggunaan angkak 1% dan tertinggi ditunjukkan oleh salpeter 200ppm. Rata-rata
radius zone penghambatan angkak-salpeter
terhadap S. aureus berkisar
antara 0.02-2,44mm. Nilai radius penghambatan terendah terhadap S. aureus ditunjukkan oleh penggunaan
angkak 1% dan tertinggi ditunjukkan oleh kombinasi angkak 1% dan salpeter 200
ppm. Data rata-rata radius zone penghambatan angkak-salpeter terhadap E.
coli dan S. aureus dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel
1. Rerata radius zona penghambatan angkak-salpeter terhadap E. coli dan S. aureus (mm2)
Bakteri Uji
|
Perlakuan
|
I
|
II
|
III
|
Rata-Rata
|
E.Coli
|
Angkak
1%
|
0.01
|
0.01
|
0.02
|
0.01
|
Salpeter
100 ppm
|
0.32
|
0.39
|
0.25
|
0.32
|
|
Salpeter
200 ppm
|
0.70
|
0.61
|
0.61
|
0.64
|
|
Angkak
1%, Salpeter 100 ppm
|
0.17
|
0.15
|
0.18
|
0.17
|
|
Angkak
1%, Salpeter 200 ppm
|
0.45
|
0.55
|
0.55
|
0.52
|
|
S.
Aureus
|
Angkak
1%
|
0.02
|
0.01
|
0.03
|
0.02
|
Salpeter
100 ppm
|
1.30
|
1.28
|
1.35
|
1.31
|
|
Salpeter
200 ppm
|
2.10
|
2.2
|
2.13
|
2.14
|
|
Angkak
1% + Salpeter 100 ppm
|
1.17
|
1.19
|
1.25
|
1.20
|
|
Angkak
1% + Salpeter 200 ppm
|
2.36
|
2.48
|
2.48
|
2.44
|
Berdasarkan uji anova
radius zona penghambatan angkak dan salpeter menunjukkan ada perbedaan yang
sangat nyata baik terhadap maupun S.
aureus dengan taraf signifikansi 0.000. Uji lanjut Duncan radius zona
penghambatan angkak dan salpeter terhadap E.
coli dan S. aureus menunjukkan
ada perbedaan pada semua perlakuan yang diterapkan, yaitu: angkak 1%,
salpeter 100ppm, salpeter 200ppm, kombinasi angkak 1% dan salpeter 100ppm, serta kombinasi angkak
1% dan salpeter 200ppm. Uji lanjut Duncan radius zona
penghambatan angkak dan salpeter terhadap E.
coli dan S. aureus dapat dilihat
pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Uji
lanjut Duncan radius zona penghambatan angkak dan salpeter terhadap E. coli
|
||||||
Duncana
|
||||||
Perlakuan (Metode Difusi Agar)
|
N
|
Subset
for alpha = 0.05
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
Angkak 1%
|
3
|
.0133
|
||||
Angkak 1%+Salpeter 100 ppm
|
3
|
.1667
|
||||
Salpeter 100 ppm
|
3
|
.3200
|
||||
Angkak 1%+ Salpeter 200 ppm
|
3
|
.5167
|
||||
Salpeter 200 ppm
|
3
|
.6400
|
||||
Sig.
|
1.000
|
1.000
|
1.000
|
1.000
|
1.000
|
Tabel 2. Uji
lanjut Duncan radius zona penghambatan angkak dan salpeter terhadap S. aureus
|
||||||
Duncana
|
||||||
Perlakuan (Metode Difusi Agar)
|
N
|
Subset
for alpha = 0.05
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
Angkak 1%
|
3
|
.0200
|
||||
Angkak 1%+Salpeter 100 ppm
|
3
|
1.2033
|
||||
Salpeter 100 ppm
|
3
|
1.3100
|
||||
Salpeter 200 ppm
|
3
|
2.1433
|
||||
Angkak 1%+ Salpeter 200 ppm
|
3
|
2.4400
|
||||
Sig.
|
1.000
|
1.000
|
1.000
|
1.000
|
1.000
|
Uji lanjut Duncan di
atas menunjukkan penggunaan angkak 1% belum memberikan daya penghambatan baik
terhadap E. coli maupun S. aureus, yang ditunjukkan dengan
radius penghambatan yang sangat kecil yaitu 0,01 dan 0,02mm. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa antimikroba yang terdapat pada
angkak 1% belum mampu menghambat pertumbuhan E. coli maupun S. aureus.
Senyawa preservatif pada angkak diantaranya senyawa monascidin A, serta dua pigmen kuning
monascin dan ankaflavin (Tisnadjaya, 2006; Suharso, 2008).
Penggunaan angkak 1%
yang dikombinasikan dengan salpater 100ppm dan 200ppm menunjukkan adanya
perbedaan penghambatan baik terhadap E.
coli maupun S. aureus. Semakin
besar salpeter yang digunakan dalam kombinasi, semakin besar daya
penghambatannya. Daya penghambatan angkak 1% dan salpeter 100ppm terhadap E. coli
sebesar 0,17mm meningkat menjadi 0,52mm pada
penggunaan angkak 1% dan salpeter 200ppm. Penghambatan terhadap S. aureus, masing-masing dari 1,20mm
meningkat menjadi 2,44mm. Hasil ini menunjukkan bahwa salpeter telah memberikan
efek penghambatan baik terhadap E. coli
maupun S. aureus. Semakin besar
jumlah salpeter yang digunakan semakin besar pula daya penghambatan terhadap
bakteri baik E. coli maupun S. aureus,
seperti ditunjukkan pada penggunaan salpeter sendiri, tanpa dikombinasi dengan
angkak.
Daya penghambatan
salpeter 100 ppm dan 200ppm terhadap E.
coli, masing-masing 0,32 dan 0,64, terhadap
S. aureus, masing-masing
1,31mm dan 2,14mm. Fungsi salpeter sebagai pengawet bahan pangan telah banyak
disebutkan. Di Indonesia, penggunaan senyawa nitrat dan nitrit sebagai pengawet
diatur dalam Permenkes Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan
Makanan. Batas maksimum penggunaan pengawet nitrat dan nitrit : kalium nitrat
dan natrium nitrat 500mg/kg, kalium nitrit dan natrium nitrit 125mg/kg bahan.
Nilai radius
penghambatan dari semua perlakuan angkak dan salpeter terhadap bakteri S. aureus menunjukkan nilai yang lebih
besar bila dibandingkan dengan bakteri E. coli. Hasil ini menunjukkan bahwa
angkak dan salpeter lebih efektif digunakan untuk menghambat bakteri S. aureus dibandingkan dengan bakteri E. coli. Pernyataan ini sesuai dengan
pendapat Tisnadjaja (2006) bahwa angkak
lebih efektif digunakan untuk menghambat bakteri gram positif
dibandingkan dengan gram negatif.
Kedua jenis
mikroorganisme uji tersebut memiliki komposisi dinding sel yang berbeda.
Dinding sel Staphylococcus aureus
yang merupakan kelompok bakteri gram positif memiliki struktur dengan banyak
peptidoglikan dan relatif sedikit lipid sedang pada Escherichia coli relatif lebih banyak mengandung lipid. Bakteri
gram negatif memiliki system seleksi terhadap zat-zat asing yaitu pada lapisan
lipopolisakarida (Brannen dan
Davidson (1993).
Dinding sel bakteri E.coli lebih kompleks terdiri atas 3
lapis namun lapisan peptidoglikan tipis. Pada bakteri
gram positif (S.
aureus) susunan dinding sel lebih sederhana terdiri atas 2
lapis namun memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal (Beveridge, 1997 dalam
Juliantina 2008).
Kemungkinan adanya perbedaan lapisan
pada dinding sel bakteri gram negatif dan gram positif mempengaruhi mekanisme
penghambatan oleh senyawa antimikroba. Senyawa antimikroba
untuk dapat melakukan penghambatan, harus masuk ke dalam sel melalui dinding
sel. Adapun mekanisme
penghambatan mikroorganisme oleh senyawa antimikroba menurut Brannen dan
Davidson (1993) dapat bereaksi dengan cara: a) bereaksi dengan sel membran, b)
inaktivasi enzim-enzim esensial dan 3) destruksi atau inaktivasi fungsi dari
material genetik.
Kesimpulan
dan Saran
Kesimpulan
Penggunaan angkak 1 %
belum mampu memberikan penghambatan terhadap bakteri S. Aureus dan E. coli.
Penggunaan salpeter secara terpisah sebesar 100ppm dan 200ppm menunjukkan daya
penghambatan terhadap bakteri S. Aureus dan E. coli lebih besar dari penggunaan
angkak 1%. Penggunaan kombinasi angkak dan salpeter menunjukkan semakin banyak
jumlah salpeter daya penghambatan terhadap bakteri S. Aureus dan E. coli
semakin meningkat. Penggunaan angkak 1% dan salpeter 100 memberikan daya
penghambatan terhadap E. coli sebesar 0,17mm, pada S. Aureus 1,20mm. Penggunaan angkak 1%
dan salpeter 200ppm memberikan daya penghambatan terhadap bakteri lebih besar,
terhadap bakteri E. coli sebesar 0,52
dan pada S. Aureus sebesar 2,44mm.
Kombinasi angkak dan salpeter yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan
mikroba pangan (bakteri) adalah angkak 1% dan salpeter 200ppm.
Saran
Pengujian aktivitas
antimikroba perlu dilanjutkan dengan metode kontak untuk mendapatkan informasi
yang lebih lengkap. Penggunaan kombinasi angkak dan salpeter perlu diterapkan pada produk pangan (kornet)
sehingga dapat diperoleh informasi bahan kuring yang terbaik, ditinjau dari
sifat organoleptik kornet serta umur simpannya.
Daftar
Pustaka
Adriansyah.
20071. Antimikroba
dari Tumbuhan (Bagian Pertama). Artikel
Iptek. http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2007-06-03-Antimikroba-dari-tumbuhan-(Bagian-Pertama).shtml.
13 Maret 2008.
________. 20072. Antimikroba
dari Tumbuhan (Bagian kedua). Artikel
Iptek. http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2007-06-03-Antimikroba-dari-Tumbuhan-(Bagian-Pertama).shtml.
13 Maret 2008.
Astawan, M. 2004. Bersahabat dengan Kolesterol. Solo: Tiga
Serangkai.
Baron, E.J., L.R. Peterson and S.M. Finegold. 1995. Diagnostic Microbiology. 9th
eds. Bailey and Scott”s Publisher. London.
Brannen,
L.A. and P.M. Davidson. 1933.
Antimicrobials in Food. Marcel
Dekker, Inc. New York.
Fardiaz, Srikandi,
dkk. 2008. Produksi Pigmen untuk Bahan Pewarna Makanan Menggunakan substrat Limbah
Industri Pangan. Bogor: IPB.
Juliantina,
R.F , Citra, M.D.A, Nirwani, B,
Nurmasitoh, T., dand Tri, B. E. 2008. Manfaat Sirih Merah (Piper
crocatum) sebagai Agen Anti Bakterial Terhadap Bakteri Gram Positif dan Gram
Negatif. JKKI – Jurnal Kedokteran
dan Kesehatan Indonesia.
Pangesthi, L.T.
dan Sulandari, L. 2012. Eksplorasi Angkak
Sebagai Garam Kuring Alternatif Pada Produksi Pangan Hewani Awetan Yang Aman. Laporan Penelitian Hibah Pekerti Dikti.
Surabaya: Unesa. Tidak dipublikasikan.
Rojsuntornkitti,
K., Jittrepotch, N., Kongbangkerd, T and Kraboun, K. 2010. Substitution of
Nitrite by Chinese Red Broken Rice Powder in Thai Tradional Fermented Pork Sausage
(Nham). International Food Research
Joaunal 17:153-161.
Soeparno,
2005. Ilmu dan Teknologi Daging.
Jogjakarta: Gadjah Mada University Press
Suharso.
2008. Angkak, Turunkan Kolesterol. Gaya Hidup Sehat. Bogor; IPB.
Tisnadjaja,
Djadjat, 2006. Bebas Kolesterol dan Demam
Berdarah dengan Angkak. Jakarta: Penebar Swadaya.
Ungureanu, C dan Ferdes, M. 2010. Antibacterial and Antifungal
Activity of Red Rice Obtained from Monascus purpureus. Chemical Engineering Transaction. Volume 20.
Zuhud, E.A.M, Rahayu, W.P., Wijaya, C.H, dan Puspitas, P. 2001.
Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kedawung (Parkia Roxburghi G. Don)
terhadap Bakteri Patogen. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol XII
no.3.
No comments:
Post a Comment