Translate

Ad

Thursday, July 2, 2020

Full Paper: Aktivitas Antimikroba Angkak dan Salpeter terhadap Bakteri Eschericia coli dan Staphylococcus aureus dengan Metode Difusi Agar


Aktivitas Antimikroba Angkak dan Salpeter terhadap Bakteri
 Eschericia coli dan Staphylococcus aureus dengan Metode Difusi Agar


Lilis Sulandari dan Lucia Tri Pangesthi
Jurusan PKK Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya, Jl. Ketintang Surabaya
E-mail: lissofyan.unesa@gmail.com


Abstrak
Aktivitas antimikroba angkak dan salpeter dengan metode kontak telah dianalisis. Angkak adalah beras berwarna merah yang difermentasi dengan kapang (Monascus purpureus). Saltpeter atau sendawa yang dimaksud adalah kalium nitrat. Angkak dan salpeter digunakan sebagai bahan kuring dalam pembuatan kornet, dengan variasi penggunaan, yaitu: angkak 1%, salpeter 100ppm, salpeter 200ppm, kombinasi angkak 1%  dan salpeter 100ppm, serta kombinasi angkak 1% dan salpeter 200ppm.  Bakteri uji yang digunakan adalah bakteri gram negatif Eschericia coli (E. coli) dan bakteri gram positif Staphylococcus aureus (S.aureus). Aktivitas penghambatan ditentukan dengan nilai radius zona terang (clear zone) dengan satuan mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: angkak 1 % belum mampu memberikan penghambatan terhadap bakteri E. coli  dan S. Aureus. Kombinasi angkak dan salpeter yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba pangan (E. coli dan S.aureus) adalah angkak 1% dan salpeter 200ppm. Angkak dan salpeter lebih efektif menghambat pertumbuhan S. Aureus. dibadingkan dengan E. coli.

Kata kunci: Angkak, salpeter, antimikroba, difusi agar, E. coli dan S. aureus



Pendahuluan
Angkak (bahasa Indonesia) atau red fermeneted rice, juga dikenal di Cina sebagai hung-chu atau hong-qu. Sementara di Jepang dikenal sebagai beni-koji atau  red-koji, dan di Eropa dikenal sebagai rotschimmelreis atau red mould. Angkak adalah hasil fermentasi beras dengan menggunakan kapang merah. Secara tradisi masyarakat Cina dan Asia Timur lainnya menggunakan angkak sebagai bahan tambahan makanan maupun sebagai bahan pengobatan tradisional (Tisnadjaja, 2006). Gambar beras angkak dapat dilihat pada Gambar 1.

Beras angkak
  Gambar 1. Beras Angkak
Penggunaan angkak oleh masyarakat Cina dan Asia lainnya sebagai bahan tambahan makanan lebih diutamakan pada proses pengolahan ikan dan daging. Dalam hal ini, angkak dapat berperan ganda, selain berfungsi sebagai pewarna, juga berfungai sebagai pembangkit rasa dan peningkat daya simpan (pengawet) (Tisnadjaja, 2006;  Suharso, 2008). Di Cina, Taiwan, Jepang, Filipina dan Thailand angkak telah digunakan sebagai pewarna makanan dan minuman, seperti bagoong makanan tradisional Filipina berupa awetan ikan dan Nham sosis babi fermentasi dari Thailand. Angkak sebagai pewarna alami memiliki sifat stabil pada proses pemasakan suhu tinggi, dapat bercampur dengan pigmen warna lain, serta tidak beracun.
Kemampuan angkak dalam meningkatkan cita rasa makanan dimungkinkan terkait dengan kandungan oligopeptidanya. Senyawa oligopeptida kemungkinan dihasilkan selama proses fermentasi melalui proses hidrolisis sebagian kandungan protein dalam beras oleh enzim-enzim protease yang disekresikan oleh kapang Monascus. Daging yang mengandung angkak terasa lebih enak dibandingkan yang diolah tanpa penambahan angkak.
Fungsi preservatif atau pengawet dari angkak dimungkinkan dengan adanya kandungan senyawa monascidin A yang bersifat sebagai  penghambat pertumbuhan bakteri dari genus Bacillus, Streptococcus dan Pseudomonas. Selain monascidin A, dua pigmen kuning monascin dan ankaflavin juga mampu menghambat pertumbuhan Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus. Angkak terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen (penyebab penyakit) dan bakteri perusak berspora, seperti Bacillus cereus dan Bacillus stearothermophilus (Tisnadjaja, 2006;  Suharso, 2008).
Angkak mempunyai potensi seperti yang dimiliki oleh senyawa nitrit atau nitrat yang digunakan dalam proses kuring daging, sehingga angkak dapat digunakan untuk mengurangi jumlah nitrit yang digunakan. Menurut Soeparno (2005) kuring adalah prosesing daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam NaCl, Na-nitrit dan atau Na-nitrat dan gula, serta bumbu-bumbu.  Maksud kuring antara lain untuk mendapatkan warna yang stabil, aroma, tekstur dan kelezatan yang baik, mengurangi pengerutan daging selama prosesing serta memperpanjang masa simpan produk daging.
Nitrit dapat bereaksi dengan komponen amin dari protein bahan pangan membentuk nitrosamin, yaitu suatu zat karsinogenik. Karena itu, penggunaan nitrit pada makanan dibatasi. Batasan maksimum penggunaan nitrit dalam proses kuring pada daging adalah 125 ppm. Menurut Astawan (2004) pemakaian garam kuring sendawa (kalium nitrat, natrium nitrat) tanpa dicampur dengan jenis garam kuring lainnya berkisar antara 200-500 mg/Kg daging. Pada pemakaian sendawa yang dicampur dengan nitrit, maka jumlahnya secara maksimum 125 mg/Kg daging  (125 ppm) dan dihitung sebagai natrium nitrit atau kalium nitrit. 
Penggunaan senyawa nitrit atau nitrat (disebut juga sendawa atau salpeter) belum bisa tergantikan oleh zat aditif lainnya untuk membentuk karakter khas pada produk daging kornet. Namun jumlah penggunaanya telah dapat dikurangi dengan beras angkak yang ditambahkan dalam pembuatan olahan daging. Angkak sudah digunakan sebagai subsitusi saltpeter pada pembuatan sosis. Hasilnya terbukti efek salpeter dapat dikurangi hingga mencapai 60% tanpa ada perubahan nyata pada sifat organoleptiknya (Tisnadjaja, 2006). Pigmen warna angkak sudah dimanfaatkan sebagai substitusi nitrit pada pengolahan daging kuring dalam bentuk sosis dan ham dengan formulasi nitrit 80 ppm dan pigmen angkak 2,5 /kg daging (Fardiaz, 2008). Penggunaan nitrit digantikan angkak telah dilakukan pada pembuatan sosis babi fermentasi makanan tradisional Thailand (Nham) (Rojsuntornkitti, dkk, 2010). Penelitian penggunaan angkak dan salpeter sebagai bahan kuring dalam pembuatan kornet telah dilakukan oleh Pangesthi dan Sulandari (2012). Penelitian pengujian aktivitas antimikroba dan antifungi dari angkak telah dilakukan Ungurenu dan Ferdes (2010). Namun penelitian untuk mengetahui aktivitas antimikroba kombinasi angkak-salpeter sebagai garam kuring alternatif secara intensif belum  dilakukan.
Antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat mengganggu pertumbuhan dan aktivitas mikroba, khususnya mikroba perusak dan pembusuk makanan (Astawan, 2004). Ardiansyah  (2007)1 menyebutkan komponen antimikroba adalah suatu komponen yang bersifat dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau kapang (bakteristatik atau fungistatik) atau membunuh bakteri atau kapang (bakterisidal atau fungisidal). Keefektifan penghambatan merupakan salah satu kriteria pemilihan suatu senyawa antimikroba untuk diaplikasikan sebagai bahan pengawet bahan pangan. Semakin kuat penghambatannya semakin efektif digunakan. Kerusakan yang ditimbulkan komponen antimikroba dapat bersifat mikrosidal (kerusakan tetap) atau mikrostatik (kerusakan sementara yang dapat kembali). Suatu komponen akan bersifat mikrosidal atau mikrostatik tergantung pada konsentrasi dan kultur yang digunakan (Ardiansyah, 2007)2. Efek bakteriostatik angkak menunjukkan bahwa angkak lebih efektif digunakan untuk menghambat bakteri gram positif dibanding dengan gram negatif (Tisnadjana, 2006)
Pengujian aktivitas antimikroba dapat menggunakan metode difusi agar. Aktivitas penghambatan pada metode difusi agar ditunjukkan dengan areal bening (clear zone) di sekeliling lubang setelah diinkubasi selama 24 jam. Zona penghambatan ditentukan dengan mengukur diameter atau radius zona terang (clear zone) yang terbentuk menggunakan penggaris (milimeter). Tidak adanya aktivitas penghambatan ditunjukkan dengan tidak terbentuknya areal bening (clear zone) di sekeliling lubang, tampak buram (Zuhud, dkk, 2001).

Matari dan Metode

Pembiakan Inokulum Monascus purpureus
Sebelum pembiakan disiapkan dahulu media Potato Dextrose Broth (PDB). PDB 38,8g dicampur dengan aquades 1620ml, diaduk rata. Larutan PDB disterilisasi dengan autoclave selama 15 menit. PDB siap untuk diinokulasi (ditanami inokulum).
Kegiatan inokulasi dimulai dengan ampul Monascus purpureus  tipe 6008 disemprot dengan alkohol 70%. 2. Ampul dikikir hingga kaca patah.Inokulum dari ampul diambil dengan kawat ose yang sudah dipanaskan atau metode aseptis.  Inokulum dimasukkan pada media PDB dalam tabung reaksi. Inokulum dalam media PDB disimpan dalam biological septic cabinet selama 7 hari. Pada tabung akan terlihat kultur berwarna kemerahan, siap digunakan untuk produksi beras angkak.

Pembuatan Beras Angkak
             Prosedur pembuatan angkan adalah sebagai berikut: Beras IR 64 dibersihkan dari kotoran dan direndam selama 24 jam kemudian ditiriskan.Beras dimasukkan dalam botol bersih (± 100 g) dengan menyisakan ¼ bagian ruang kosong seagai tempat oksigen.Botol ditutup dengan kertas roti dan disterilisasi selama 2 jam. Kultur Monascus purpureus dimasukkan ke dalam botol yang telah diisi beras sebanyak 5% (ml/g), diaduk hingga tercampur rata. Botol ditutup kembali dengan kertas roti. Beras dengan kultur Monascus purpureus diinkubasi pada suhu 27-28oC selama 14 hari. Beras angkak dapat dipanen. Beras angkak diletakkan pada loyang dan dikeringkan dengan oven pada suhu 45oC selama 1 minggu. Beras angkak digiling dan diayak hingga menghasilkan bubuk tepung angkak yang halus. Angkak bubuk yang halus siap digunakan.

Uji Aktivitas Antimikroba Angkak-Salpeter Metode Difusi Agar
Sterilisasi Alat dan Bahan
Cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer, penjepit, spatula, Media Agar NA, Media Nutrien Broth, dan seluruh alat dan bahan (kecuali ekstrak angkak) yang akan digunakan disterilisasi di dalam autoclave selama 30 menit dengan mengatur tekanan sebesar 15 dyne/cm3 (1 atm) dan suhu sebesar 121 oC setelah sebelumnya dicuci bersih, dikeringkan dan dibungkus dengan kertas.
Pembuatan Stok Suspensi Bakteri
Pembuatan suspensi bakteri dilakukan untuk perbanyakan stok. Stok disiapkan dengan cara menginokulasikan 1 ose biakan murni ke dalam 50 ml Nutrient Broth (NB). Stok kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam di dalam inkubator.
Tahap Pengujian Antimikroba
Cawan petri diisi media NA sebanyak kurang lebih 19 ml diberi suspensi bakteri sebanyak 2 ml (5 x 105 cfu/ ml), selanjutnya dibuat beberapa sumur pada agar dengan diameter 5 mm. Pada tiap – tiap sumur ditetesi 50 µl larutan angkak-salpeter. Tiap- tiap sampel dibuat secara duplo dan diulang 3 kali. Setelah ditetesi dengan larutan angka-salpeter, cawan diinkubasi pada suhu 4oC selama 2 jam agar terjadi pre-difusi. Selanjutnya cawan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam dan setelah waktu inkubasi kemudian diukur diameter/radius zona terang (clear zone) dengan menggunakan penggaris (milimeter).

Hasil dan Pembahasan

Pengujian aktivitas antimikroba angkak-salpeter dilakukan dengan menggunakan metode difusi agar. Aktivitas penghambatan angkak-salpeter terhadap bakteri uji,  ditunjukkan dengan terbentuknya zona terang (clear zone) di sekeliling lubang setelah diinkubasi selama 24 jam. Zona penghambatan ditentukan dengan mengukur radius zona terang (clear zone) yang terbentuk menggunakan penggaris (milimeter). Tidak adanya aktivitas penghambatan ditunjukkan dengan tidak terbentuknya zona terang (clear zone) di sekeliling lubang, dan tampak buram. Zona penghambatan angka-salpeter pada kedua bakteri uji dapat dilihat pada Gambar 2.

zona penghambatan angkak pada bakteri
 Gambar 2. Zona penghambatan angkak dan salpeter pada bakteri E. coli dan S. aureus



Hasil penelitian menujukkan bahwa rata-rata radius zone penghambatan angkak-salpeter  terhadap E. coli berkisar antara 0.01-0,64mm. Nilai radius penghambatan terendah terhadap E. coli ditunjukkan oleh penggunaan angkak 1% dan tertinggi ditunjukkan oleh salpeter 200ppm. Rata-rata radius zone penghambatan angkak-salpeter  terhadap S. aureus berkisar antara 0.02-2,44mm. Nilai radius penghambatan terendah terhadap S. aureus ditunjukkan oleh penggunaan angkak 1% dan tertinggi ditunjukkan oleh kombinasi angkak 1% dan salpeter 200 ppm. Data rata-rata radius zone penghambatan angkak-salpeter  terhadap E. coli dan S. aureus dapat dilihat pada Tabel 1. 

Tabel 1. Rerata radius zona penghambatan angkak-salpeter terhadap E. coli dan S. aureus (mm2)
Bakteri Uji
Perlakuan
I
II
III
Rata-Rata
E.Coli
Angkak 1%
0.01
0.01
0.02
0.01
Salpeter 100 ppm
0.32
0.39
0.25
0.32
Salpeter 200 ppm
0.70
0.61
0.61
0.64
Angkak 1%, Salpeter 100 ppm
0.17
0.15
0.18
0.17
Angkak 1%, Salpeter 200 ppm
0.45
0.55
0.55
0.52
S. Aureus
Angkak 1%
0.02
0.01
0.03
0.02
Salpeter 100 ppm
1.30
1.28
1.35
1.31
Salpeter 200 ppm
2.10
2.2
2.13
2.14
Angkak 1% + Salpeter 100 ppm
1.17
1.19
1.25
1.20
Angkak 1% + Salpeter 200 ppm
2.36
2.48
2.48
2.44

Berdasarkan uji anova radius zona penghambatan angkak dan salpeter menunjukkan ada perbedaan yang sangat nyata baik terhadap maupun S. aureus dengan taraf signifikansi 0.000. Uji lanjut Duncan radius zona penghambatan angkak dan salpeter terhadap E. coli dan S. aureus menunjukkan ada perbedaan pada semua perlakuan yang diterapkan, yaitu: angkak 1%, salpeter 100ppm, salpeter 200ppm, kombinasi angkak 1%  dan salpeter 100ppm, serta kombinasi angkak 1% dan salpeter 200ppm. Uji lanjut Duncan radius zona penghambatan angkak dan salpeter terhadap E. coli dan S. aureus dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Uji lanjut Duncan radius zona penghambatan angkak dan salpeter terhadap E. coli
Duncana
Perlakuan (Metode Difusi Agar)
N
Subset for alpha = 0.05
1
2
3
4
5
Angkak 1%
3
.0133




Angkak 1%+Salpeter 100 ppm
3

.1667



Salpeter 100 ppm
3


.3200


Angkak 1%+ Salpeter 200 ppm
3



.5167

Salpeter 200 ppm
3




.6400
Sig.

1.000
1.000
1.000
1.000
1.000


Tabel 2. Uji lanjut Duncan radius zona penghambatan angkak dan salpeter terhadap S. aureus
Duncana
Perlakuan (Metode Difusi Agar)
N
Subset for alpha = 0.05
1
2
3
4
5
Angkak 1%
3
.0200




Angkak 1%+Salpeter 100 ppm
3

1.2033



Salpeter 100 ppm
3


1.3100


Salpeter 200 ppm
3



2.1433

Angkak 1%+ Salpeter 200 ppm
3




2.4400
Sig.

1.000
1.000
1.000
1.000
1.000

Uji lanjut Duncan di atas menunjukkan penggunaan angkak 1% belum memberikan daya penghambatan baik terhadap E. coli maupun S. aureus, yang ditunjukkan dengan radius penghambatan yang sangat kecil yaitu 0,01 dan 0,02mm. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa antimikroba yang terdapat pada angkak 1% belum mampu menghambat pertumbuhan E. coli maupun S. aureus. Senyawa preservatif pada angkak diantaranya senyawa monascidin A, serta dua pigmen kuning monascin dan ankaflavin (Tisnadjaya, 2006; Suharso, 2008).
Penggunaan angkak 1% yang dikombinasikan dengan salpater 100ppm dan 200ppm menunjukkan adanya perbedaan penghambatan baik terhadap E. coli maupun S. aureus. Semakin besar salpeter yang digunakan dalam kombinasi, semakin besar daya penghambatannya. Daya penghambatan angkak 1% dan salpeter 100ppm terhadap  E. coli sebesar 0,17mm meningkat menjadi 0,52mm pada penggunaan angkak 1% dan salpeter 200ppm. Penghambatan terhadap S. aureus, masing-masing dari 1,20mm meningkat menjadi 2,44mm. Hasil ini menunjukkan bahwa salpeter telah memberikan efek penghambatan baik terhadap E. coli maupun S. aureus. Semakin besar jumlah salpeter yang digunakan semakin besar pula daya penghambatan terhadap bakteri baik  E. coli maupun S. aureus, seperti ditunjukkan pada penggunaan salpeter sendiri, tanpa dikombinasi dengan angkak.
Daya penghambatan salpeter 100 ppm dan 200ppm terhadap E. coli, masing-masing 0,32 dan 0,64, terhadap  S. aureus, masing-masing 1,31mm dan 2,14mm. Fungsi salpeter sebagai pengawet bahan pangan telah banyak disebutkan. Di Indonesia, penggunaan senyawa nitrat dan nitrit sebagai pengawet diatur dalam Permenkes Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan. Batas maksimum penggunaan pengawet nitrat dan nitrit : kalium nitrat dan natrium nitrat 500mg/kg, kalium nitrit dan natrium nitrit 125mg/kg bahan. 
Nilai radius penghambatan dari semua perlakuan angkak dan salpeter terhadap bakteri S. aureus menunjukkan nilai yang lebih besar bila dibandingkan dengan bakteri  E. coli. Hasil ini menunjukkan bahwa angkak dan salpeter lebih efektif digunakan untuk menghambat bakteri S. aureus dibandingkan dengan bakteri E. coli. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Tisnadjaja (2006) bahwa angkak  lebih efektif digunakan untuk menghambat bakteri gram positif dibandingkan dengan gram negatif.
Kedua jenis mikroorganisme uji tersebut memiliki komposisi dinding sel yang berbeda. Dinding sel Staphylococcus aureus yang merupakan kelompok bakteri gram positif memiliki struktur dengan banyak peptidoglikan dan relatif sedikit lipid sedang pada Escherichia coli relatif lebih banyak mengandung lipid. Bakteri gram negatif memiliki system seleksi terhadap zat-zat asing yaitu pada lapisan lipopolisakarida (Brannen dan Davidson (1993).
Dinding sel bakteri E.coli lebih kompleks terdiri atas 3 lapis namun lapisan peptidoglikan tipis. Pada bakteri gram positif  (S. aureus) susunan dinding sel lebih sederhana terdiri atas 2 lapis namun memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal (Beveridge, 1997 dalam Juliantina 2008). Kemungkinan adanya perbedaan lapisan pada dinding sel bakteri gram negatif dan gram positif mempengaruhi mekanisme penghambatan oleh senyawa antimikroba. Senyawa antimikroba untuk dapat melakukan penghambatan, harus masuk ke dalam sel melalui dinding sel. Adapun mekanisme penghambatan mikroorganisme oleh senyawa antimikroba menurut Brannen dan Davidson (1993) dapat bereaksi dengan cara: a) bereaksi dengan sel membran, b) inaktivasi enzim-enzim esensial dan 3) destruksi atau inaktivasi fungsi dari material genetik.

Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Penggunaan angkak 1 % belum mampu memberikan penghambatan terhadap bakteri S. Aureus dan E. coli. Penggunaan salpeter secara terpisah sebesar 100ppm dan 200ppm menunjukkan daya penghambatan terhadap bakteri S. Aureus dan E. coli lebih besar dari penggunaan angkak 1%. Penggunaan kombinasi angkak dan salpeter menunjukkan semakin banyak jumlah salpeter daya penghambatan terhadap bakteri S. Aureus dan E. coli semakin meningkat. Penggunaan angkak 1% dan salpeter 100 memberikan daya penghambatan terhadap  E. coli sebesar 0,17mm, pada S. Aureus 1,20mm. Penggunaan angkak 1% dan salpeter 200ppm memberikan daya penghambatan terhadap bakteri lebih besar, terhadap bakteri E. coli sebesar 0,52 dan pada S. Aureus sebesar 2,44mm. Kombinasi angkak dan salpeter yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba pangan (bakteri) adalah angkak 1% dan salpeter 200ppm.

Saran
Pengujian aktivitas antimikroba perlu dilanjutkan dengan metode kontak untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap. Penggunaan kombinasi angkak dan salpeter  perlu diterapkan pada produk pangan (kornet) sehingga dapat diperoleh informasi bahan kuring yang terbaik, ditinjau dari sifat organoleptik kornet serta umur simpannya.


Daftar Pustaka



Astawan, M. 2004. Bersahabat dengan Kolesterol. Solo: Tiga Serangkai.

Baron, E.J., L.R. Peterson and S.M. Finegold. 1995. Diagnostic Microbiology. 9th eds. Bailey and Scott”s Publisher. London.

Brannen, L.A. and P.M. Davidson. 1933.  Antimicrobials in Food.  Marcel Dekker, Inc. New York.
Fardiaz, Srikandi, dkk.  2008. Produksi Pigmen untuk Bahan Pewarna Makanan Menggunakan substrat Limbah Industri Pangan. Bogor: IPB.

Juliantina, R.F , Citra, M.D.A, Nirwani, B,  Nurmasitoh, T., dand  Tri,  B. E. 2008. Manfaat Sirih Merah (Piper crocatum) sebagai Agen Anti Bakterial Terhadap Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif. JKKI – Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia.
Pangesthi, L.T. dan Sulandari, L. 2012. Eksplorasi Angkak Sebagai Garam Kuring Alternatif Pada Produksi Pangan Hewani Awetan Yang Aman. Laporan Penelitian Hibah Pekerti Dikti. Surabaya: Unesa. Tidak dipublikasikan.

Rojsuntornkitti, K., Jittrepotch, N., Kongbangkerd, T and Kraboun, K. 2010. Substitution of Nitrite by Chinese Red Broken Rice Powder in Thai Tradional Fermented Pork Sausage (Nham). International Food Research Joaunal 17:153-161.

Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press

Suharso. 2008. Angkak, Turunkan Kolesterol. Gaya Hidup Sehat. Bogor; IPB.

Tisnadjaja, Djadjat, 2006. Bebas Kolesterol dan Demam Berdarah dengan Angkak. Jakarta: Penebar Swadaya.

Ungureanu, C dan Ferdes, M. 2010. Antibacterial and Antifungal Activity of Red Rice Obtained from Monascus purpureus. Chemical Engineering Transaction. Volume 20.

Zuhud, E.A.M, Rahayu, W.P., Wijaya, C.H, dan Puspitas, P. 2001. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kedawung (Parkia Roxburghi G. Don) terhadap Bakteri Patogen. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol XII no.3.

No comments:

Post a Comment